Mohon tunggu...
Nunung Nuraida
Nunung Nuraida Mohon Tunggu... profesional -

teacher, English, novel, x-files, Rayhan \r\n\r\nhttp://nunungnuraida.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Karakter? Nol Besar

26 Mei 2012   02:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:47 889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah sejak satu tahun terakhir ini, kurikulum pendidikan dasar dan menengah mengalami perubahan. Dalam setiap silabus yang disusun, harus dimasukkan unsur pendidikan karakter. Akhirnya, para guru pun mulai merevisi semua silabus, RPP dan segala jenis administrasi mengajar lainnya. Dalam setiap perencanaan mengajar, disisipkan indikator pendidikan karakter.

Sayangnya, pencanangan pendidikan karakter ini sepertinya tidak dibarengi dengan perencanaan yang matang, baik dari pihak pemerintah, selaku pemegang kebijakan tertinggi dalam hal pendidikan, dan juga dari pihak satuan pendidikan yang seolah-olah hanya mengikuti instruksi dinas pendidikan, sementara itu tidak menggodok secara matang pendidikan karakter seperti apa yang ingin dicapai. Lihat saja di jadual satuan mengajar dimana mata pelajaran pendidikan agama hanya mendapatkan porsi satu jam saja per minggunya. Di lain sisi, mata pelajaran sains dan matematika diberikan porsi dari 4 hingga 7 jam! Jelaslah bahwa pendidikan di sekolah-sekolah lebih mengarah kepada kekuatan akademis dibanding karakter.

Pendidikan agama merupakan dasar bagi pendidikan karakter yang positif. Jika pembelajaran agama saja sedemikian sedikit waktunya  tentu berimbas pada perkembangan karakter anak didik kita. Walaupun tidak dipungkiri, pendidikan karakter ini juga sangat dipengaruhi oleh pendidikan di rumah mereka.

Selain itu, indikator karakter yang diterapkan di sekolah sangatlah berlebihan. Artinya banyak sekali indikator yang harus dicapai. Jika sudah begini, bagaimana kita bisa mengontrol setiap indikator yang dicapai peserta didik. Misalnya, dalam satu pertemuan, indikator karakternya adalah komunikasi, yang memiliki poin lebih kecil yaitu pembicara yang baik, pendengar yang baik, pembaca yang ekfektif, penulis yang baik dan bahasa tubuh yang baik. Sementara itu, di pertemuan berikutnya kita dipertemukan dengan indikator karakter lainnya misalnya jujur, dapat dipercaya, bekerja sama, santun. Kalau di setiap pertemuan saja, indikator karakter yang diharapkan berbeda-beda, bagaimana kita bisa melihat perkembangan satu indikator di setiap peserta didik.

Saya rasa kita harus belajar dari negara-negara maju. Di Inggris, peserta didik hanya mendapatkan mata pelajaran wajib sebanyak 5 sampai 6 subjek saja. Sisanya, mereka bisa mengambil mata pelajaran pilihan atau bebas sesuai dengan minat dan bakat. Ada pelajaran memasak, tata busana, musik, olah raga, dan lain-lain. Sehingga dari sini, kita bisa memantau dimana letak kekuatan peserta didik sehingga karakter yang terbetuk pun akan terlihat dengan jelas.

Kita cobakan saja indikator karakter yang kita canangkan cukup dua indikator saja dalam satu semester dan disamaratakan ke semua mata pelajaran. Misalnya: indikator semester pertama adalah jujur dan kerja sama. Maka dua karakter itulah yang kita bimbing dan pantau dengan berbagai cara. Ketika anak sudah mulai tidak jujur, kita harus benar-benar menyiapkan sanksi dan hukuman apa yang diterapkan, sehingga di semua pelajaran hal ini berlaku sama, tidak ada perbedaan penanganan. Kalau sudah begini, maka pendidikan karakter akan lebih terarah, terfokus dan guru akan lebih mudah memantau perkembangan di setiap peserta didik.

Sekarang ini, sekolah lebih banyak fokus ke nilai akademis saja, seolah-olah pendidikan karakter hanya sebatas pemanis dan belum mendapatkan tempat terpenting dalam penerapannya. Hal ini tentu harus mendapat perhatian lebih dari berbagai pihak, pemerintan dan sekolah serta didukung oleh para guru dan peserta didik juga sehingga tujuan pendidikan yang berkarakter dapat tercapai. Kita tidak hanya menciptakan anak-anak yang cerdas secara kognitif tetapi juga lebih cerdas secara emosional dan akhlak. Sehingga kita tidak menciptakan manusia-manusia berotak einstein berhati firaun, tetapi berotak einstein berhati Rasulllah SAW.

Semoga...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun