Mohon tunggu...
Nunuk Cita
Nunuk Cita Mohon Tunggu... -

pembelajar dan menyukai fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[FITO] Obat Dalam Setumpuk Sampah

25 Agustus 2016   11:43 Diperbarui: 25 Agustus 2016   11:50 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pic : dok poetri apriani

Bau sampah menusuk hidung. Tapi bukan halangan bagiku untuk mengais rezeki. Karena, kadang ada barang-barang bagus yang masih bisa dijual dengan harga yang lumayan.Adanya sampah baru berarti ada harapan baru.

Memulung sampah bukanlah pilihan bagiku. Bahkan, tak pernah terpikir akan menjalaninya seperti sekarang. Jalan ini aku pilih baru sekitar tiga bulan ini. Tepat enam bulan setelah melahirkan anakku yang pertama. Hutang kami begitu besar untuk melunasi biaya persalinan.

Kehamilanku bermasalah, itu yang dokter penolongku katakan. Awalnya tidak ada masalah. Akan tetapi saat melahirkan akan tiba, tekanan darahku naik dengan cepat. Bukan karena takut atau tegang. Dokter bilang, pre eklamsi atau keracunan kehamilan.Mau tidak mau harus dioperasi. Kalau tidak, aku bisa mati. Begitu kata dokter waktu itu.

Kulihat mendung di wajah suamiku. Sebagai karyawan rendahan di sebuah perusahaan swasta, gajinya tidaklah terlalu besar. Tabungan yang kami sediakan pun hanya cukup untuk membayar bidan bersalin di Desa. Kami berada di Rumah Sakit atas rekomendasi bidan tersebut. Mau tidak mau, suamiku harus berhutang ke sana kemari. Menjual harta juga telah kami lakukan. Semua upaya untuk menutup biaya persalinan pada saat itu.

Entah sudah seberapa jauh kaki ini melangkah. Karung yang kupanggul sudah separuh penuh.Hatiku pedih setiap mengingat kejadian sembilan bulan lalu. Bayi kami lahir dengan badan yang sehat. Tapi setelah imunisasi pertama, badannya panas tinggi. Kejang-kejang lalu mati. Bidan desa yang menyuntiknya tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi pada anak kami. Kami pun tidak tahu harus menyalahkan siapa. Anak kami mati dan kami harus menerima takdir ini. Hanya dua minggu menyusu dan tertidur nyaman di pelukanku.

Kuteruskan langkah kaki ini. Panas matahari sudah sangat menyengat. Di depan ada bak sampah besar. Tempat pembuangan sementara warga perumahan. Lamat-lamat kudengar suara. Begitu lemah. Sedikit takut, kudekati sumber suara. Sepertinya berasal dari kardus mi instan yang tergeletak di samping bak sampah. Seperti sengaja diletakkan sedemikian rupa.

Dadaku bergemuruh. Apa isi kardus itu? Kudengar suara itu semakin jelas. Kubuka pelan-pelan. Ya Allah, bayi. Bayi yang lucu. Ada tiga. Mereka seperti tahu dan meminta tolong padaku. Matanya seperti memohon. Hatiku trenyuh. Warna bulunya cantik-cantik. Dengan hati-hati aku mengangkat bayi-bayi kucing malang itu bergantian. Mereka pasti baru saja dipisahkan dari induknya. Akhirnya, kuputuskan membawa mereka pulang dan merawatnya. Biarlah mereka menjadi pengobat jiwaku yang sedang kosong. Melupakan kepedihan dan berhenti memikirkan siapa yang salah atas masalahku.

Mojokerto, 25 Agustus 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun