Di sebuah sudut sekolah, seorang anak menatap piring makannya dengan wajah murung. Nasi dan lauk pauk masih utuh, hanya sesekali ia mengaduknya dengan sendok.
"Kenapa nggak dimakan?" tanya temannya. Anak itu hanya menggeleng, tampak ragu. "Sama kayak kemarin, buat nanti aja," jawabnya pelan.
Ketika bel pulang berbunyi, ia memasukkan makanannya ke dalam wadah untuk dibawa pulang. Namun, sesampainya di rumah, harapan untuk menyantapnya kembali pupus.
Sayuran yang tadinya masih segar kini mulai layu dan berbau. Makanan yang seharusnya bergizi malah berakhir di tempat sampah.
Dari Dapur ke Piring: Jam Berapa Sebenarnya Makanan Ini Dimasak?
Salah satu alasan mengapa makanan cepat basi adalah lamanya waktu dari proses memasak hingga makanan benar-benar dikonsumsi. Pertanyaannya, jam berapa sebenarnya makanan ini dimasak?
Jika makanan harus tersedia pukul 10 pagi, besar kemungkinan proses memasaknya dimulai sejak dini hari, bahkan sebelum subuh. Dalam kondisi ideal, makanan harus segera disantap setelah matang agar kandungan gizinya tetap terjaga.
Namun dalam sistem distribusi massal, makanan bisa terpapar suhu ruangan dalam waktu yang cukup lama sebelum akhirnya disajikan. Ini mempercepat proses pembusukan, terutama pada sayur dan lauk berkuah.
Akibatnya, ketika makanan tidak habis dan ingin dibawa pulang, kondisinya sudah tidak lagi layak konsumsi.
Masalahnya Bukan Hanya di Kualitas, Tapi Juga Variasi
Selain persoalan kualitas makanan yang cepat basi, kurangnya variasi menu juga menjadi masalah utama. Bayangkan makan ayam kecap, ayam goreng berturut-turut, atau tumis sayur yang rasanya terus-menerus sama.