Imajinasi dan ingatannya tidak bisa dikekang. Maka, ia menuturkan kisahnya secara lisan kepada sesama tahanan, menyusun bab demi bab dalam ingatan.
Dari sana lahirlah Tetralogi Buru, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Ia tidak menulisnya dengan tangan, tetapi dengan nyawanya.
Api yang Tak Pernah Padam
Ketika akhirnya ia dibebaskan pada 1979, kebebasan itu hanyalah ilusi. Ia masih diawasi, dicekal, dan dilarang berbicara di depan publik.Â
Buku-bukunya dilarang beredar, bahkan rumahnya pernah digerebek dan manuskripnya dibakar. Namun, api yang membakar karyanya justru menjadi suluh semangat bagi banyak orang.
Semangatnya tak pernah padam. Seperti halnya "Minke", tokoh utama dalam Bumi Manusia yang menolak tunduk pada penindasan, Pram juga menolak menyerah. Meskipun ia dilarang meninggalkan negeri untuk menerima berbagai penghargaan internasional, suaranya tetap menggema.
Dunia tak menutup mata. Ia dianugerahi Ramon Magsaysay Award, dinominasikan untuk Nobel Sastra, dan karyanya diterjemahkan ke berbagai bahasa.
Bahkan buku-bukunya dilarang beredar, generasi muda tetap mencarinya, membacanya secara sembunyi-sembunyi, seolah membisikkan perlawanan dalam diam.
Mahakarya yang Tak Pernah Mati
Kini, Pramoedya telah tiada, tetapi suaranya tetap hidup. Ia membuktikan bahwa kata-kata lebih kuat dari borgol, lebih tajam dari senapan, dan lebih abadi dari kekuasaan yang berusaha membungkam.
Ia adalah bukti bahwa kekuasaan bisa merampas kebebasan, bisa menghapus nama dari daftar penghargaan, bisa membakar naskah hingga menjadi abu. Tapi kekuasaan tak pernah benar-benar bisa membungkam kekuatan kata-kata.