Mohon tunggu...
Nuning Sapta Rahayu
Nuning Sapta Rahayu Mohon Tunggu... Guru - Guru Pendidikan Khusus/Narasumber GPK/Narasumber Praktik Baik IKM

Seorang Guru Pendidikan khusus yang aktif dalam kegiatan literasi, Organisasi Profesi dan berbagai kegiatan terkait Dunia Pendidikan Khusus dan Pendidikan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Pena Lebih Tajam dari Tirani: Pramoedya dan Mahakarya yang Menolak Mati

3 Februari 2025   17:09 Diperbarui: 3 Februari 2025   17:17 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pramoedya Ananta Toer: Kata-Kata yang Tak Bisa Dijegal, Karya yang Tak Bisa Dibungkam

Di negeri yang gemar menyekat suara-suara kritis, Pramoedya Ananta Toer memilih untuk tetap bicara. Tidak dengan pidato lantang di atas podium, tidak pula dengan orasi yang menggema di jalanan.

"Pram" begitu ia kerap disapa adalah sosok yang tak pernah menyerah pada tekanan. Ia berbicara melalui kata-kata, yang mengalir dalam setiap lembar buku, menembus batas waktu dan kekuasaan. 

Bagi seorang Pramoedya, kata-kata bukan sekadar barisan huruf di atas kertas. Kata-kata adalah perlawanan,  kejujuran dan nyawa. 

Maka, ketika kekuasaan mencoba membungkamnya, ia tidak berhenti menulis. Ketika pena dan kertasnya dirampas, ia tidak menyerah. Bahkan ketika ia dijebloskan ke dalam penjara dan diasingkan ke Pulau Buru, ia tetap berkisah.

Dibungkam, Namun Tak Pernah Diam

Pramoedya lahir bukan dari zaman yang mudah. Ia tumbuh dalam pergolakan, dalam pasang surut sejarah Indonesia yang penuh luka. 

Karyanya bukan sekadar cerita, melainkan cermin dari bangsa ini, terlalu jujur, terlalu berani, dan karenanya, terlalu berbahaya bagi mereka yang ingin sejarah ditulis dengan satu suara saja.

Pada tahun 1965, setelah peristiwa G30S, ia ditangkap tanpa pengadilan. Hanya karena pemikirannya yang dianggap dekat dengan ideologi kiri, ia dicabut dari kebebasannya dan dibuang ke Pulau Buru.

Di sana, ia dipaksa untuk bekerja dalam kondisi yang sangat keras. Setiap hari, kakinya menapaki tanah keras dengan beban kerja yang melelahkan, ditengah tubuh-tubuh yang didera kelaparan, dan di sekelilingnya, kematian seakan begitu dekat.

Namun, di tengah semua itu, Pram tetap menulis. Ia tidak memiliki pena, tidak ada kertas, bahkan sekadar hak untuk membaca pun dirampas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun