Tahun 2025 menandai satu abad sejak kelahiran Pramoedya Ananta Toer, sastrawan terbesar yang pernah dimiliki Indonesia. Warisannya begitu kuat, menjulang tinggi dalam dunia sastra, meskipun hidupnya penuh rintangan.Â
Tulisan-tulisannya menggugah kesadaran, menyingkap sejarah yang kerap disembunyikan, serta menghidupkan karakter-karakter yang mencerminkan realitas bangsa ini.
Bagi saya, membaca karya Pram bukan sekadar menikmati cerita, melainkan perjalanan menyelami kehidupan, sejarah, dan kemanusiaan. Â Setiap bukunya menyimpan nyawa, suara bagi yang tak bersuara, dan perlawanan bagi yang tertindas.Â
Di antara banyak mahakarya yang ia hasilkan, satu buku yang paling menyentuh hati saya adalah "Bumi Manusia" sebuah kisah cinta, ketidakadilan, dan perjuangan yang melampaui zaman.
Membedah "Bumi Manusia": Antara Cinta, Perlawanan, dan Martabat
"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah."
Kalimat legendaris dari Bumi Manusia ini mencerminkan esensi dari perjuangan intelektual dan kebebasan berpikir.Â
Novel ini, yang merupakan bagian pertama dari Tetralogi Buru, mengisahkan perjalanan Minke, seorang pemuda pribumi yang berpendidikan Eropa dalam menentang ketidakadilan kolonialisme Belanda di Hindia Belanda.
Namun, Bumi Manusia bukan sekadar kisah politik. Novel ini juga menghadirkan roman tragis antara Minke dan Annelies, seorang gadis keturunan Indo yang menjadi korban sistem hukum kolonial yang rasis. Hubungan mereka yang penuh harapan harus kandas oleh aturan yang tidak berpihak pada pribumi.
Saya masih ingat, dalam novel ini, Pram dengan brilian menggambarkan ketimpangan sosial, diskriminasi rasial, serta bagaimana kolonialisme mencengkeram martabat bangsa ini.Â
Lebih dari sekadar cerita fiksi, Bumi Manusia adalah refleksi tentang perjuangan, kesadaran kelas, dan identitas nasional.