Mohon tunggu...
Nuning Sapta Rahayu
Nuning Sapta Rahayu Mohon Tunggu... Guru - Guru Pendidikan Khusus/Narasumber GPK/Narasumber Praktik Baik IKM

Seorang Guru Pendidikan khusus yang aktif dalam kegiatan literasi, Organisasi Profesi dan berbagai kegiatan terkait Dunia Pendidikan Khusus dan Pendidikan Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Dilema Kemandirian Perempuan, Ketika Karier Tinggi Bertemu Ego dan Pilihan Hidup

27 Januari 2025   13:18 Diperbarui: 29 Januari 2025   11:08 633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Perempuan dan kariernya. (Dok. Shutterstock via kompas.com) 

"Kapan nikah?" Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang paling banyak ditanyakan oleh semua orang dalam berbagai acara keluarga. 

Bukan tak mau, tapi jodoh yang tepat yang belum ada. Lagian tanpa pernikahan pun kebutuhan finansial tercukupi dan karir pun meroket. Wajib ya cepat-cepat nikah?

Ungkapan tersebut banyak dikeluhkan oleh teman maupun saudara perempuan yang belum menikah di usia, 25, 30 bahkan di atas 35. Entah karena terlalu asyik mengejar pendidikan dan karir, terlalu sibuk, memiliki standar khusus atau memang tak tertarik sama sekali. Hal itu juga membuat mereka malas ikut pergi ke acara keluarga.

Kemandirian perempuan telah menjadi salah satu fenomena sosial terbesar di era modern. Semakin banyak perempuan yang mampu menduduki jabatan penting, mendapatkan penghasilan di atas rata-rata, bahkan mengungguli rekan pria mereka di berbagai bidang. 

Namun, di balik pencapaian gemilang itu, ada dilema besar yang menghantui: hubungan asmara, pernikahan, dan masa depan keluarga. 

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat partisipasi perempuan dalam dunia kerja meningkat signifikan dalam dekade terakhir. Hal ini sejalan dengan tren pendidikan tinggi yang juga semakin banyak diraih perempuan.

Di sisi lain, angka pernikahan cenderung menurun, terutama di kota-kota besar. Banyak perempuan mandiri mengaku ragu untuk berkomitmen dalam hubungan pernikahan karena trauma sosial, seperti kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau pelecehan yang kerap menjadi momok. 

"Saya tidak mau menikah hanya untuk menurunkan kualitas hidup saya," ungkap salah seorang teman yang kini telah menjadi manajer di sebuah perusahaan multinasional. Ia merasa kemandiriannya membuatnya lebih berhati-hati memilih pasangan.

Namun, kemandirian ini sering kali disalahartikan sebagai "tingginya ego perempuan." Padahal, menurut psikolog klinis, Dr. Sinta Prameswari, M.Psi, hal ini lebih kepada meningkatnya kesadaran perempuan terhadap hak-hak mereka.

"Perempuan masa kini tidak lagi melihat pernikahan sebagai keharusan, melainkan sebagai pilihan. Mereka ingin memastikan bahwa hubungan yang dibangun didasari kesetaraan dan rasa hormat," jelasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun