"Apakah dia masih mengingatku?" Naya sering bertanya dalam hatinya saat malam-malam sepi.
Malam itu, di tengah rasa rindu yang tak terjelaskan, Naya tertidur. Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, pangeran itu muncul kembali dalam mimpinya. Namun kali ini, wajahnya bukanlah wajah yang lembut dan penuh kehangatan seperti dulu. Wajah sang pangeran tampak berbeda, marah, kecewa, tapi juga penuh kesedihan.
"Naya, kenapa kau melupakan janji kita?" tanyanya dalam suara yang dingin namun penuh luka.
Naya tidak tahu harus berkata apa. Semua perasaan yang pernah ia pendam bertahun-tahun meledak. Namun sebelum ia sempat menjawab, pangeran itu berbalik, meninggalkannya dalam kehampaan. Naya terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhnya. Sang pangeran telah kembali, dan untuk pertama kalinya, Naya merasa ada bagian dari dirinya yang hilang selama ini.
Hari-hari berlalu, dan meskipun Naya telah menikah, kesepian yang ia rasakan semakin dalam. Pada suatu malam yang sunyi, ketika suaminya tidak pulang karena pekerjaan, Naya merasakan keinginan yang kuat untuk kembali bertemu dengan sang pangeran.
"Jika kau mendengarku, datanglah," bisik Naya pelan sebelum ia tertidur.
Seperti memenuhi panggilan itu, sang Pangeran muncul dalam mimpinya, mengulurkan tangannya. "Aku Arya. Ikutlah denganku, Naya. Aku telah menunggumu," katanya lembut.
Naya merasa hatinya tertarik. Tangan Arya terasa hangat dan menenangkan, berbeda dari apa yang ia rasakan selama ini. Sebelum ia sempat menolak, Naya sudah berada di tempat yang sama sekali berbeda, sebuah desa yang begitu indah, dengan hamparan kebun bunga yang mempesona, air terjun yang jernih, dan istana megah di kejauhan.
"Di sinilah tempatmu. Di sinilah seharusnya kau berada," Arya menatap Naya dengan penuh cinta.
"Ini... terlalu indah," bisik Naya, terpesona oleh keindahan negeri itu.
Arya kemudian membawanya ke dalam istana, di mana penduduk desa sudah menunggu. Mereka berpakaian seperti dari zaman kerajaan, dan semuanya membungkuk hormat kepada Naya.