Mohon tunggu...
Nuning Listi
Nuning Listi Mohon Tunggu... Wiraswasta - ibu rumah tangga

Seorang ibu rumah tangga biasa yang

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Pahami Konteks Agar Bisa Menghadapi "Monster" Internet

8 Februari 2017   19:25 Diperbarui: 8 Februari 2017   19:28 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerdas Dunia Maya - belfasttelegraph.co.uk

Munculnya klaim penyadapan terhadap Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, KH Ma’ruf Amin, dan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam persidangan kasus penodaan agama Gubernur DKI Jakarta non-aktif, Basuki Tjahaja “Ahok” Purnama, telah menyibak cakrawala baru yang sebenarnya hanya “menunggu waktu” terjadi di Indonesia. Penyadapan, kini, telah menjadi kekhawatiran dalam pertarungan elit politik.

Kenyataan ini mungkin belum pernah ada sebelum teknologi internet menjadi masif seperti saat ini. Pada 2009, sejarah penyadapan ini mulai familiar, ketika Mahkamah Konstitusi bersama ketuanya, Mahfud MD, membuka percakapan yang menunjukkan percakapan antara adik tersangka korupsi Anggoro Wijaya, Anggodo Wijaya, dengan sejumlah pihak dalam konspirasi untuk mengkriminalisasi dua pimpinan KPK waktu itu, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto.

Jadi, inilah dunia kita saat ini. Di tahun 2009, penyadapan memberikan kita sebuah “kelegaan” terhadap dunia terang-benderang demi melawan korupsi. Di tahun 2017, penyadapan berbalik arah pada kecemasan elit politik. Kemampuan internet dalam sistem viralnya adalah yang menggelembungkan informasi penyadapan itu menjadi wacana masyarakat. Dalam kasus dugaan penyadapan Yudhoyono-Ma’ruf Amin, internet adalah media yang paling dahsyat untuk membentuk wacana dalam masyarakat.

Seketika warga Nahdlatul Ulama berang dengan cara tim kuasa hukum Ahok. Seketika itu juga kita dihadapkan pada situasi, di mana kenyataan itu mengungkapkan bahwa ulama kini telah jauh masuk ke dalam politik. Padahal, anggapan yang salah itu juga telah dibantah oleh pihak-pihak yang terlibat didalamnya.

Media sosial, telah mengambil bagian penting dalam kasus ini. Yudhoyono, melalui akun Twitter@sbyudhoyono, menggunakan media ini untuk menyampaikan sikap politiknya. Mulai dari keluhan soal hoax, sampai pada bantahannya bahwa ada akun yang mengatasnamakan dirinya digunakan untuk menyerang mantan presiden Megawati Soekarno Putri dan Presiden Joko Widodo. Ada yg melepas tweet seolah dari saya. Isinya menyerang Pak Jokowi & Ibu Megawati. Itu bukan dari saya. Bukan karakter saya. *SBY*

Bagaimanakah kita menghadapi “permainan” politik elit di media sosial, yang tak sedikit menguras energi kita? Ada baiknya kita untuk tidak melihat pada permukannya saja. Misalnya, kita bisa menempatkan semua kekisruhan ini pada konteks pemilihan kepala daerah DKI Jakarta 2017. Yudhoyono, sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, memiliki posisi yang jelas pada pencalonan putranya, Agus Harimurti Yudhoyono, sebagai pesaing incumbent Ahok yang belakangan menjadi “lawan” dalam pertarungan yang lebih besar.

Yang lebih besar itu bisa jadi adalah “agama”. Demikianlah yang bisa kita lihat dalam demonstrasi sejumlah orang yang mengatasnamakan Islam saat menentang Ahok sebagai penista agama pada bulan November dan Desember tahun lalu. Wacana terbelah seakan-akan kelompok Islam adalah lawan dari ideologi Pancasila.

Pilkada DKI Jakarta adalah “kata kunci” yang bisa kita pegang agar kita bisa tetap dingin menghadapi internet. Dengan menempatkannya pada konteks itu, maka kita menyadari bahwa semua yang dibicarakan adalah untuk kepentingan politik. Agama, jelas adalah sesuatu yang sudah menjadi pembicaraan besar dalam guncangan itu. Dan wacana agama versus Bhinneka Tunggal Ika menjadi pembicaraan selanjutnya.

Layakkah semua itu menjadi harga untuk perpecahan? Semuanya menjadi mencemaskan sejak internet menjadi kenyataan sehari-hari bagi masyarakat kita. Jadi, duduk-tenang dan berpikir tenang di hadapan internet adalah “kata kunci besar” untuk menghadapinya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun