Mohon tunggu...
Nuning Listi
Nuning Listi Mohon Tunggu... Wiraswasta - ibu rumah tangga

Seorang ibu rumah tangga biasa yang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menghindarkan Anak Jadi Pelaku dan Korban Kekerasan

24 Mei 2016   12:12 Diperbarui: 24 Mei 2016   12:21 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mendidik Anak - abiummi.com

Anak-anak merupakan harapan bagi ayah bundanya. Anak juga bisa menjadi penyelamat keluarganya, ketika dewasa nanti. Bahkan, doa anak sholeh bisa menyelamatkan orang tua yang sudah meninggal. Namun, saat ini banyak kita lihat anak-anak Indonesia yang menjadi korban, bahkan pelaku kekerasan. Banyak anak perempuan menjadi korban perkosaan, sedangkan yang laki-laki justru menjadi pelaku perkosaan. Banyak juga yang menjadi korban kekerasan dari orang tuanya sendiri. Kondisi ini merupakan sekelumit fakta, yang terjadi terhadap anak Indonesia kini.

Apa yang terjadi terhadap Yuyun, gadis 14 tahun, yang diperkosa 14 orang, lalu dibunuh dan dibuang di semak hutan, harus menjadi introspeksi bersama bagi para orang tua. Yuyun merupakan korban, tapi ironisnya, pelakunya adalah anak-anak yang masih belia. Di sisi lain, ada juga remaja kita, yang terkena bujuk rayu kelompok radikal keagamaan. Sampai akhirnya mereka pun menjadi korban sekaligus pelaku bom bunuh diri.

Sebuah fakta yang tidak bisa dibantah, bahwa pelaku terorisme di Indonesia didominasi remaja usia 15 -35 tahun. Para pelaku kekerasan di Indonesia, rata-rata juga didominasi oleh anak-anak dan remaja. Yang berangkat ke Suriah pun, juga ada yang remaja seperti Bahrunnaim, yang disebut terlibat dalam pengeboman di kawasan Thamrin. Dari fakta-fakta diatas, seharusnya menjadi pembelajaran buat kita semua, khususnya para orang tua. Pendidikan yang baik di level keluarga, komunitas terkecil dialam tatanan sosial, harus diupayakan bersih dari yang namanya kekerasan.

Menanamkan sikap toleransi antar sesama, harus dimulai sejak dini. Karena melalui toleransi, anak-anak kita bisa memposisikan manusia lain secara sejajar, tanpa membedakan suku, agama, ataupun budayanya. Semuanya sama. Semuanya mempunyai hak yang sama. Jika anak-anak kita sudah terbiasa memanusiakan manusia, dalam artian tidak pernah menyakiti teman-temannya, tidak pernah mengolok-olok temannya, mereka akan tumbuh menjadi manusia yang sejuk. Manusia yang bisa menjadi juru damai bagi siapapun. Karena negeri ini, bumi ini, butuh kedamaian, bukan pertikaian yang terus dipelihara.

Saat ini, banyak sekali simpatisan dan anggota kelompok radikal, yang masih berada di masyarakat yang mencoba untuk menyebarkan paham kekerasan. Bahkan, mereka juga menggunakan berbagai cara untuk mempengaruhi banyak orang. 

Mereka menyebarkan buku kekerasan di tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD), mereka juga mulai menyusup ke pesantren, lembaga pendidikan formal, hingga ke dalam masjid. Di duni maya, mereka juga menggunakan berbagai cara untuk melakukan propaganda. Artinya, pengaruh-pengaruh buruk itu selalu ada di sekitar kita. Baik secara nyata ataupun maya.

Sudah harus disudahi, anak dan remaja kita yang menjadi korban, sekaligus pelaku kekerasan. Sudah waktunya, kita arahkan mereka menjadi penyebar kedamaian bukan penyebar kekerasan. Harus kita arahkan mereka mengikuti jejak Rasulullah SAW yang selalu ramah dan membantu kepada siapa saja. Kita harus menciptakan kondisi yang senyaman mungkin untuk para generasi penerus ini. 

Biasakan untuk selalu terbuka, agar mereka juga terbuka kepada orang tuanya. Jangan sampai anak-anak kita menjadi tertutup. Karena anak-anak yang model ini, bisa berpotensi disusupi paham radikal. Ayo, kita selamatkan generasi penerus kita, agar tidak menjadi korban dan pelaku kekerasan. Mari kita jadikan mereka menjadi generasi harapan.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun