Dalam sebuah riwayat dijelaskan, Rasulullah berdiri ketika menjumai iring-iringan jenazah seorang Yahudi, yang menjalani proses pemakaman. Sikap Rasulullah dipertanyakan semua pihak. Salah seorang sahabat menanyakan, “Ya Rasulullah itu adalah seorang Yahudi. Namun seketika Rasulullah juga menjawab ‘Bukankah dia juga manusia?“ Jawaban Rasulullah ini menunjukkan, bahwa toleransi antar umat beragama juga sudah ada sejak jaman Rasulullah SAW. Lalu jika saat ini masih ada yang mempermasalahkan perbedaan latar belakang, atau latar belakang agama, kenapa mereka tidak mengikuti jejak Rasulullah?
Allah telah memberikan kita akal dan pikiran. Karena dua hal inilah, manusia derajatnya lebih tinggi dibandingkan makhluk Allah yang lain. Dengan kelebihan itu, harusnya kita benar-benar bisa menimbang mana baik dan mana buruk. Mana yang bsia merugikan orang lain, mana yang bisa menguntungkan semua pihak. Manusia juga diberi kemampuan untuk menggunakan logikanya dia, dalam menyikapi suatu peristiwa, atau untuk memutuskan sesuatu. Logika ini pulalah, yang membedakan manusia dengan binatang.
Dalam perjalanannya, sebagian manusia justru berperilaku dan berujar tidak sepertinya manusia. Mereka mudah marah, suka melakukan kekerasan terhadap orang lain, tidak jarang mereka juga menebarkan ujaran kebencian kepada orang atau kelompok lain. Perilaku semacam ini sungguh sangat tidak manusiawi. Dengan akan, pikiran dan logika tadi, seharusnya perilaku dan tutur kata diatas tidak lagi terjadi. Kenapa? Karena pada dasarnya setiap manusia itu sama, hanya karakternya yang berbeda. Karena itulah, diperlukan sikap untuk saling mengerti dan mengormati antar sesama.
Dalam hiruk pikuk pilkada seperti sekarang ini, banyak manusia yang tidak menjadi manusia karena perilaku dan ucapannya. Kebencian begitu mudah kita temukan dalam keseharian, baik di dunia nyata ataupun dunia maya. Banyak ancaman kekerasan yang muncul, hanya karena ingin mewujudkan keinginannya. Tidak hanya ancaman untuk demonstrasi dalam jumlah besar, ancaman bom dan terorisme juga muncul dibalik unjuk rasa yang akan digelar pada 2 Desember mendatang. Meski masih sebatas dugaan, namun pernyataan polisi ini patut kita jadikan peringatan.
Unjuk rasa yang rencananya digelar di sepanjang jalan Sudirman Thamrin, akhirnya disepakati tidak dilakukan. Sebagai gantinya, akan dipindah di lapangan Monas. Sebuah kesepakatan yang patut diapresiasi, namun tetap harus diantisipasi. Kenapa? Pengarahan massa dalam jumlah besar, berpotensi disusupi dan diprovokasi. Dalam kondisi berdesakan, tentu psikologis pendemo akan mudah untuk ‘disulut’. Hal-hal semacam inilah yang harus kita waspadai bersama. Karena unjukrasa 212 mengusung atribut agama, sudah semestinya aksi berjalan damai dan tidak merusak. Sudah semestinya pula ucapan yang muncul dalam aksi tersebut menyejukkan, dan tidak menebar kebencian.
Karena kita manusia, unjukrasa 212 Desember mendatang seharusnya berjalan damai. Karena kita manusia, perilaku dan ucapan yang muncul dalam 212, juga seharusnya lebih santun. Apalagi aksi mendatang membawa atribut agama, yang seharusnya bisa menyejukkan dan mendamaikan semua pihak. Dan aparat keamanan, tentunya harus tetap meningkatkan kewaspadaan, agar teroris yang diperkirakan akan menyusup, bisa ditangkap sebelum melakukan aksinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H