Mohon tunggu...
Nuning Listi
Nuning Listi Mohon Tunggu... Wiraswasta - ibu rumah tangga

Seorang ibu rumah tangga biasa yang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kita dan Persatuan Indonesia

17 Agustus 2024   12:04 Diperbarui: 17 Agustus 2024   12:15 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Selama enam tahun ini, Indonesia relatif aman bebas dari kekerasan seperti pengeboman rumah ibadah, sarana dan fasilitas umum dll. Aksi kekerasan terakhir adalah bom Surabaya yang sangat besar bom ini menyadarkan kita bahwa faham kekerasan selalu ada di Indonesia dan digerakkan oleh orang-orang yang punya faham tertentu.

Meski tidak ada aksi kekerasan, namun Densus 88  belasan kali menangkap terduga teroris di berbagai kota di Indonesia. Mereka memang belum melakukan aksi teror, namun diketahui oleh intelejen bahwa mereka berencana melakukannya atau terlibat dengan jaringan teroris. Kita ingat penangkapan seorang mahasiswa jurusan Hubungan Internasional Universitas Brawijaya beberapa waktu lalu karena diketahui mahasiswa ini secara aktif mengumpulkan dana untuk kepentingan ISIS. Sama dengan penangkapan seorang pelajar pada akhir Juli lalu, setelah diketahui bahwa sang pelajar berencana meledakkan dua tempat ibadah di Malang. Di rumah kedua orang tuanya ditemukan bahan-bahan peledak untuk membuat bom bunuh diri.

Jika kita mengingat dan meresapi makna persatuan dan perjuangan mendapatkan kemerdekaan oleh pendahulu kita, mungkin tak akan ada keinginan untuk merusaknya. Bagaimana pertempuran Surabaya yang menewaskan 10 ribu warga Surabaya dan sekitarnya dikenang oleh mantan prajurit Sekutu sebagai pertempuran neraka.

Indonesia dibentuk dan diupayakan oleh para pendiri bangsa dengan sejarah yang amat panjang. Saat dibawah kolonialisme Belanda kita tidak punya hak apapun termasuk hak untuk diri kita sendiri. Sistem tanam paksa dan kerja paksa sangat merugikan warga tanah air. Tanah yang mula-mula ditanami jagung tiba-tiba dpaksa untuk ditanami  karet atau cengkeh hanya karena Belanda ingin memanfaatkan penjualan karet atau cengkeh di pasar global. Padahal dengan menanam cengkeh atau karet diperlukan waktu lebih dari 2 tahun untuk mendapat hasilnya. Penjajah tidak memikirkan selama itu, sang pemilik tanah harus makan apa. Sebaliknya negara Belanda menjadi sangat kaya raya hasil dari jajahannya itu.

Pada titik ini kita harus mendefinisikan ulang apa sejatinya yang disebut persatuan itu. Apakah dengan mengebom rumah ibadat kita mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan? Atau dengan menyerang aparat kita sama saja membela agama.

Hal-hal seperti ini harus kita renungkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun