Keragaman beragama merupakan sunnatullah, sesuatu yang sifatnya given. Sama halnya dengan keragaman bahasa dan budaya. Hal ini diakui oleh Al- Quran secara jelas karena Al-Quran telah memberikan petunjuk kepada umat Islam dalam menyikapi keragaman beragama dengan jelas dan tegas. Â Pertama yaitu sikap eksklusif (al-inhilaq) dalam hal-hal yang bersifat aqidah dan 'ubudiah dan kedua sikap Inklusif (al-infitah) dalam ranah sosial interaktif.
Dalam tataran aplikatif, ajaran Islam yang bersumber kepada Al-Quran dan as-Sunnah telah mengajarkan kepada umatnya bagaimana hidup berdampingan dengan anggota masyarakat yang berbeda kenyakinan. Piagam Madinah adalah diantara bukti sejarah bagaimana Islam sejak awal menginginkan terwujutnya kerukunan antarumat beragama.Â
Dalam konteks ke-Indonesia-an, nilai-nilai luhur Al-Quran tersebut dapat dikembangkan dalam rangka menegakkan berbagai pilar yang perlu disepakati bersama dan diaktualisasikan untuk membangun kerukunan antarumat beragama.
Diantara pilar-pilar tersebut adalah dengan meningkatkan sikap toleran yang benar, saling menghormati dengan penuh sikap kedewasan dalam beragama, meningkatkan kerjasama dalam hal-hal yang menjadi tujuan bersama dalam beragama, tanpa harus saling mencurigai dan memperkokoh tiga pilar kenegaraan (Pancasila, UUD 45 dan Bineka Tunggal Ika).
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), mengeluarkan keputusan tegas pada akhir Mei 2024 terkait pengucapan salam lintas agama. MUI mengharamkan umat Islam mengucapkan salam dari agama lain yang mengandung doa. Fatwa ini menegaskan bahwa salam dalam Islam adalah perkara 'ubudiah yang tidak boleh dicampuradukkan dengan agama lain.
Lain halnya dengan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur yang memiliki perspektif berbeda, memperbolehkan salam lintas agama dengan rujukan yang mendalam berdasarkan hasil bahtsul masail. PWNU Jatim memperbolehkan salam lintas agama, dengan rujukan pada kitab-kitab klasik seperti Bariqotu Muhmudiyyah dan Ashbakh Wannadhoir. Dimana dalam kitab-kitab ini, terdapat pendapat yang memperbolehkan mengucapkan salam kepada non-muslim ketika ada kemaslahatan atau kepentingan yang mendesak.
Dalam tradisi Islam, Nabi Ibrahim as dan Nabi Muhammad SAW pernah mengucapkan salam kepada non-muslim dalam konteks tertentu. Namun kita tidak akan berpanjang lebar mengenai hal tersebut. Informasi ini hanya sebagai pendangan bahwa salam sebagai wujud pesan kedamaian dan rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi seluruh alam) harus dipertimbangkan dalam konteks kemaslahatan dan kebersamaan.
Sangatlah bijak untuk melihat bahwa kedua pandangan tersebut lahir dari niat yang baik; menjaga kemurnian ibadah dalam Islam dan sekaligus mempromosikan kedamaian serta kerukunan antar umat beragama. Jangan juga fatwa haram mengucapkan salam lintas agama mempersempit ruang dialog dan toleransi antar umat beragama. Kita bisa merujuk pandangan lain yang membolehkan ucapan salam lintas agama dalam kadar tertentu demi kemaslahatan. Kedua pandangan tersebut sama-sama memiliki dalil sebagai landasannya berpikirnya.
Intinya, pelajari dalil-dalilnya baik yang mengharamkan maupun yang membolehkan, lalu pertimbangkan mana yang membawa kemaslahatan bagi diri dan lingkungan kita. Toh kita yang akan mempertanggungjawabkan konsekuensi pilihan tersebut.Â
Jangan gaduh, apalagi curiga berlebihan kepada salah satu pihak, apalagi melabeli bagi yang masih mengucapkan. Jalani dengan damai dan hormati setiap keputusan, baik itu mau mengucapkan salam lintas agama atau tidak.