Membangun kekhilafahan merupakan salah satu cita-cita yang tak pernah berhenti dari beberapa pihak yang memaknai hadist nabi secara tekstual tanpa konteks. Mereka terus menerus menyebarkan mimpi tentang kekhalifahan Utsmani yang sudah berakhir 100 tahun lalu. Di beberapa negara seperti Indonesia, malah mimpi ini sengaja disebarkan melalui berbagai cara termasuk film yang pernah mengegerkan Indonesia soal keterkaitan Nusantara dengan kekhalifahan. Ini jelas memakai  ilmu coba cabi gathuk yang menggambarkan seakan N usantara penah menjadi bagian dari kekhalifahan .
Ini juga yang dilakukan oleh organisasi Islamic State for Suriah and Iraq (ISIS). ISIS yang secara politis ingin mendirikan kekhilafahan di Suriah dan Irak menyebarkan hasrat mereka itu seakan itulah sesuai dengan hadist dan cita-0cita umat  Islam seluruh dunia. Karena itu banyak sekali umat Islam yang mendukung cita-cita itu dan banyak sekali umat Islam yang datang ke Suriah dan mendukung perjuangan ISIS dnegan segala cara termasuk perempuan.
Perjuangan ISIS itu punya sedikit kendala ketika  ISIS terdesak di Suriah sejak tahun 2013. Lalu mereka mengubah strategi melawan di Suriah dan Irak dengan lebih menonjolkan amaliyah yang dilakukan para perempuan juga berharga untuk mewujudkan kekhilafahan. Sebelumnya, ISIS hanya menerima pejuang laki-laki untuk mendukung perjuangan mereka.
Perubahan strategi ISIS ini membuat ruang yang lebih terbuka bagi kalangan perempuan untuk lebih bisa menjadi aktor , tidak saja eksekutor. Antara lain menyebarkan informasi di dunia maya untuyk menambah simpatisan, merencanakan teror (di negara masing-masing) untuk mendapat dana, membuat bahan peledak sampai menjadi eksekutor. Â Inilah awal, bagaimana perempuan akhirnya juga turut serta dalam perjuangan menegakkan cita-cita mereka.
Untuk menarik hati kaum perempuan, kelompok radikal memainkan narasi seputar heroisme perempuan di medan perang. Misalnya, salah satu unggahan di YouTube yang mengangkat kisah Aisyah sebagai sosok perempuan yang menjadi mujahidah dan berkorban untuk Islam. Aisyah dinarasikan sebagai perempuan yang memahami kesadaran politik Islam bahwa pemeliharaan urusan umat harus diatur dengan syariat Islam. Narasi ini menggugah emosi dan menginspirasi kaum perempuan dan untuk tahap selanjutnya dieksploitasi kelompok radikal untuk meradikalisasi.
Bersama dengan propaganda ini, narasi objektifikasi perempuan juga banyak ditemukan di platform-platform media sosial. Hal ini nyatanya berkontribusi pada rentannya perempuan dalam jaring radikal terorisme, yaitu karena faktor kuatnya budaya patriarki dan akses informasi.
Inilah yang harus kita waspadai bersama. Bagaimanapun, perempuan yang punya keterbukaan dalam hal agama bisa memilah dan memanage diri dengan lebih baik agar terhindar dari pengaruh yang membuat diri mereka menjadi intoleran dan radikal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H