Mohon tunggu...
Nuning Listi
Nuning Listi Mohon Tunggu... Wiraswasta - ibu rumah tangga

Seorang ibu rumah tangga biasa yang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ramadan, Momentum Jihad Melawan Hate Speech, Hoaks dan Provokasi

18 Mei 2019   22:16 Diperbarui: 18 Mei 2019   22:28 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masyarakat Indonesia mayoritas memilih menjadi muslim. Meski demikian negara ini tetap tidak mau menjadikan dirinya sebagai negara Islam. Karena Indonesia juga mengakui keberadaan agama-agama yang lain. Karena itulah, toleransi dan saling menghormati antar umat beragama di Indonesia masih tetap terjaga. Namun, sentimen agama seringkali dibawa-bawa untuk mewujudkan kepentingan tertentu. Dan salah satunya adalah untuk urusan politik. Sejak pilkada serentak hingga pemilihan presiden ini, sentimen agama seringkali dibawah untuk mendapatk dukungan masyarakat.

Akibatnya, kelompok radikal yang tadinya 'tiarap' kini mulai bermunculan dalam beberapa tahun belakang ini. Dalam pilkada DKI Jakarta misalnya, berbagai ancaman mulai bermunculan. Mulai ancaman tidak dishalatkan, ancaman tidak masuk surge, hingga ancaman makar dan segala macamnya.

Kini, ancaman-ancaman yang mirip kembali muncul usai pemilihan presiden dan wakil presiden. Hal ini menunjukkan bahwa bibit radikalisme dan terorisme, selalu saja mendompleng segala bentuk ancaman konflik.

Sementara, untuk rencana people power yang digagas oleh beberapa tokoh, akan mengundang banyak massa. Logikanya, apakah polisi akan banyak melakukan penjagaan? Jika iya, dititik inilah potensi aksi terorisme itu terjadi. Kenapa? Karena polisi masih menjadi salah satu musuh utama kelompok teroris di Indonesia.

Hanya berawal dari ujaran kebencian dan provokasi, aksi terorisme bisa terjadi. Hanya dari ujaran kebencian dan provokasi, sebagian orang bisa masuk menjadi bagian dari kelompok radikal dan terorisme. Karena begitulah pengakuan para pelaku teror selama ini. Mereka mengenal bibit radikal dari lingkungan sekitar. Bahkan ketika era digital mulai masuk ke seluruh negara, penyebaran bibit radikalisme pun mulai merambah ke media sosial.

Dan penyebaran bibit radikal ini salah satunya melalui penyebaran ujaran kebencian yang dilakukan di berbagai media sosial. Lalu, jika bibit kebencian identik dengan kelompok radikal, apa bedanya dengan penyebaran kebencian terhadap tokoh politik tertentu?

Jangan kotori bulan Ramadan ini dengan perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji. Karena di bulan suci ini, umumnya digunakan umat Islam untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Bentuk mendekatkan diri ini bermacam-macam.

Ada yang membaca Al Quran, saling membantu yang membutuhkan, ataupun menebar kebaikan lainnya. Segala perbuatan baik, apapun itu, akan dicatat sebagai ibadah yang sangat luar biasa.

Karena itulah aksi menolak hasil penetapan pilpres, dengan cara-cara yang salah tentu akan sangat mengotori bulan Ramadan. Apalagi rencana aksi massa dalam jumlah tersebut, akan dimanfaatkan oleh jaringan teroris untuk melakukan aksi terorisme.

Mari kendalikan amarah agar bisa menjadi kerahaman. Mari kendalikan kebencian ini agar menjadi kedamaian. Ingat, semua agama yang ada di Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai-nilai perdamain.

Kebencian dan provokasi jelas menjauhkan kita semua dari perdamaian. Yuk, kita jadikan bulan Ramadan ini sebagai momentum untuk menebar kebaikan dan melawan segala bentuk kebencian, hoaks dan provokasi. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun