Lebih dari satu dekade lalu, SBY adalah harapan. Dia menjadi media darling setelah dirinya 'dizalimi' oleh Megawati. Saat itu SBY adalah Menkopolkam dalam kabinet Megawati - Hamzah Haz. Rakyat larut dalam euphoria untuk membela SBY yang teraniaya dan mengelu-elukannya sebagai sosok presiden harapan baru. Ganteng, cerdas dan berpostur tinggi besar.
Saat itu dia seperti sosok yang diingini publik karena pasca reformasi dan lima tahun dipimpin sipil, negara belum juga menunjukkan kemampuan untuk mensejahterahkan masyarakat. Karena itu sosok militer dan tegas itu menjadi semacam penentram. SBY membangun partai baru dengan nama partai Demokrat, dan rakyat tak ragu memilihnya.
Seperti halnya banyak partai di Indonesia, Partai Demokrat menumpukan kekuatan pada figur. Sebagian orang mendirikan partai untuk menjadi kendaraan politik figur tertentu untuk meraih kekuasaan. Ketergantungan pada figur merupakan konsekwensi dari pembentukan partai yang bersifat top down.
Partai Demokrat (PD) Â mengikuti Pemilu tahun 2004 dan meraih suara sebanyak 7,45% dari total suara. KUrsi yang diraih di DPR sebanyak 57. Â PD menempati ranking ke lima dan menjadi rising star bersama Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Popularitas PD di beberapa kota besar dan wilayah bekas karesidenan Madiun, tempat Yodhoyono berasal. Pemilu 2009 adalah puncak kekuatan Partai Demokrat dan SBY. SBY terpilih menjadi presiden kembali di pilpres dan Partai Demokrat mendapat 150 kursi (26,4%) di DPR RI (peringkat pertama).
Tapi di peroleharan suara partai ini merosot drastis pada Pemilu 2014 karena beberapa kader terlibat pada masalah korupsi, padahal mereka memproklamirkan sebagai partai anti korupsi. Raihan suara PD hanya peringkat empat dari sepuluh partai.Â
Popularitas SBY pada periode kedua pemerintahannya, meredup. Rakyat menilainya sebagai sosok penuh drama yang lebay. Presiden dengan curhat-curhatan tak penting. Pengamat tak segan  menyebut PD yang diusung SBY itu sebagai partai yang gemar memainkan drama politik. Sidang-sidang DPR menjadi panggung opera sabun PD dalam rangkaian melodrama kisah SBY yang katanya di bully oleh lawan politiknya.
Pemerintahan berganti dan memang, Megawati tak menjadi Presiden ketujuh. Tapi drama-drama yang disodorkan oleh SBY masih juga disodorkan ke publik. Drama itu adalah ketika AHY mundur dari militer dan SBY seakan memberikan tongkat estafet PD ke AHY. Puncaknya ketika menyodorkan AHY maju pada kontestasi Pilkada Jakarta. AHY bersanding dengan Silvi untuk meraih simpati publik Jakarta. Seperti diduga banyak orang ; kandas.
SBY seperti selalu memberi kesan bahwa dia Presiden paling demokratis dan terbaik dari semua presiden yang pernah ada. Padahal publik bisa menilai sendiri, mana pemimpn yang berbuat sesuatu secara nyata untuk rakyat dan mana yang hanya untuk pencitraan. Era Jokowi adalah batas dimana SBY tak bisa menyembunyikan hasrat politik yang dia titipkan lewat AHY. Â Seakan dia menyorongkan anaknya mendampingi Jokowi pada Pilpres depan. Padahal AHY tak punya banyak pengalaman politik dan pemerintahan sebelumnya.
Tapi jangan lupa, seperti juga di politik. Cinta rakyat ada batasnya. Rakyat tak cinta mati pada SBY (dan PD). Sikap SBY (dan PD) seakan  memperlihatkan bahwa mereka tak mau lepas dari kekuasaan. Gila kekuasaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H