Koran terkemuka Amerika Serikat (AS) pada akhir Maret lalu, menulis tentang penolakan negara adidaya ituterhadap mantan Pangkostrad, Prabowo Subianto yang ingin menjadi presiden Indonesia.
"Prabowo yang lulus dari program pelatihan militer AS pada tahun 1980 merupakan pengagum AS dan selama bertahun-tahun ingin bertemu dengan para pejabat tinggi AS . Sejauh ini, AS merasa keberatan," tulis jurnalis Joe Cochrane di New York Times, 26 Maret 2014. Alasan utama AS karena mantan Pangkostrad itu ditengarai terlibat dalam pelanggaran HAM serta sikap-sikapnya yang cenderung tidak bersahabat.
Di mata pejabat AS, karakteristik Prabowo sangat keras, tanpa kompromi dan cenderung kaku. Ini adalah ancaman karena AS punya banyak kepentingan dan perusahaan besar di Indonesia. Pandangan AS seperti ini sangat merugikan Indonesia karena AS sangat mempengaruhi pasar internasional.
AS bagi pelaku pasar dan bisnis Internasional adalah pintu dan penentu. Jika AS menolak, maka pasar internasional akan mengikutinya. Pasar internasional selalu menuntut pemimpinyang fleksibel dan tidak kaku.
Direktur Eksekutif Political Communication Institute (Polcomm) Heri Budianto mengatakan bahwa pemberitaan AS yang menolak Prabowo sebagai capres, membuktikan kuatnya campur tangan pihak asing khususnya AS.
” Saya melihat apa yang diberitakan New York Times tersebut sebagai bentuk pengaruh yang kuat dari AS," jelas pengajar di Fisip Universitas Mercu Buana ini. Menurutnya, penolakan itu tidak semata karena diblack-list masuk ke AS.
Kubu Prabowo sendiri sudah berusaha untuk ‘mendekatkan’ keluarga Prabowo ke pihak AS. Salah satunya dengan mendirikan Pusat Kajian Sumitro Djojohadikusumo untuk Kebangkitan Ekonomi Asia Tenggara (SDCEESEA).
Pusat Kajian itu didirikan oleh The Center for Strategic and International Studies (CSIS) cabang Washington DC dan menunjuk Penasehat Senior Inisiatif Rekanan Program Asia Tenggara dan Pasifik CSIS, Ernest Z. Bower.
Pendanaan Pusat Kajian ini adalah Yayasan Arsari Djojohadikusumo, yang didirikan oleh pengusaha yang juga adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo. SDCEESEA didirikan untuk mengingat perjuangan almarhum ayahnya, ekonom Indonesia, Professor Sumitro Djojohadikusumo. Lembaga ini bertujuan mendalami hubungan masa depan AS dan Indonesia.
Hashim mengaku telah delapan kali melobi pemerintah AS demi kakaknya. Dia berharap AS lebih obyektif melihat kakaknya. Baginya, Prabowo bukan anti investasi asing seperti Hugo Chaves.
Tapi mau bagaimana lagi,pasar internasional memang menolak Prabowo.
Prabowo yang kaku itu, tak laku !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H