Ancaman radikalisme memang terus terjadi. Propaganda radikalisme muncul dengan berbagai macam cara. Kelompok radikal juga terus memanfaatkan perkembangan zaman, agar tidak mudah terdeteksi. Dan jika kita lihat yang terjadi saat ini, banyak diantara kita tidak sadar, bahwa kita sendiri pada dasarnya juga turut menyebarkan bibit radikalisme itu sendiri. Salah satunya adalah menyebarkan kebencian di lingkungan sekitar.
Sadar atau tidak, banyak sekali postingan bernuansa kebencian di media sosial. Entah itu benci dengan teman sekerja, benci dengan pimpinan di kantor atau benci dengan kebijakan pemerintah. Bahkan tak jarang kebencian itu dibalut dengan kebebasan mengutarakan pendapat. Dan yang lebih mengerikan adalah dibumbui dengan sentimen SARA di dalamnya. Akibatnya, antar sesama bisa saling bertikai satu dengan lainnya.
Tanpa disadari, infiltrasi radikalisme itu telah menyusup ke semua lini kehidupan. Di lingkungan pendidikan misalnya. Beberapa tahun lalu sempat ditemukan buku bacaan dengan kandungan radikalisme di tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD). Tak hanya itu, bibit radikalisme juga pernah ditemukan di tingkat SMP, SMA hingga perguruan tinggi. 2018 lalu, Densus 88 pernah manangkap mahasiswa di salah satu kampus di Pekanbaru, Riau. Ditemukan bom siap ledak di gelanggang mahasiswa kampus tersebut. Pada 2022, Densus 88 juga menangkap IA, mahasiswa jurusan hubungan Internasional di salah satu kampus di Jawa Timur. Mahasiswa 22 tahun tersebut diduga terlibat dengan jaringan terorisme.
Hal diatas hanyalah contoh saja. Tidak hanya di lingkungan kampus. Di lingkungan pesantren juga pernah diberitakan disusupi bibit radikalisme. Bahkan, kementerian lembaga, juga banyak disusupi oleh oknum yang terpapar radikalisme. Beberapa bulan lalu, Densus 88 menangkap oknum pegawai PT KAI, karena diduga terlibat jaringan terorisme.
Sekali lagi, infiltrasi radikalisme banyak terjadi dimana-mana. Perlu ditingkatkan kewaspadaan, agar orang-orang terdekat kita tidak mudah terpapar radikalisme. Perlu adanya saling membantu, untuk memperkuat literasi, agar bisa membekali diri dengan informasi yang tepat, obyektif dan valid. Karena penyebaran informasi yang terjadi saat ini, tidak serta merta berisi kebenaran. Tidak sedikit informasi yang berkembang justru merupakan berita bohong.
Membangun kesiagaan perlu dilakukan oleh semua pihak. Jika dulu ada pos kamling untuk mencegah masuknya pencuri, di era digital ini, kita juga perlu pos kamling digital agar bibit radikal tidak menyebar di media sosial. Karena tak dipungkiri, kelompok radikal dan jaringan terorisme terus menggunakan kecanggihan teknologi, untuk mendapatkan dukungan, mencari pendanaan, hingga menyebarkan provokasi. Jika kita semua tidak meningkatkan kewaspadaan, tidak menutup kemungkinan akan mudah terpapar dan bergabung ke dalam jaringan teroris.
Jangan lupakan nilai-nilai kearifan lokal yang telah diwariskan para pendahulu kita. Terus tingkatkan toleransi, agar kita tetap bisa hidup berdampingan dalam keberagaman. Karena keberagaman di negeri ini merupakan keniscayaan, yang tidak bisa dilawan. Dan karena itu pula, saling menghargai antar sesama merupakan hal mutlak, yang harus diimplementasikan dalam setiap perilaku kita semua. Salam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI