Mohon tunggu...
NW
NW Mohon Tunggu... Lainnya - good people are you

mencoba aktif menuliskan kembali apa yang ada di kepala, semata2 untuk kewarasan menjadi manusia. karena kata pram: menulis adalah bekerja untuk keabadian, bukan.?

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Realitas Cinta Primitif

18 Desember 2011   12:41 Diperbarui: 28 November 2020   21:16 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Katanya suka, sayang bahkan bilang cinta. Ya , memang benar semua itu dikatakan dan mungkin juga dirasakan olehnya. Tapi dilihat konteksnya, kata-kata manis itu diucapkan saat mereka belum resmi menjadi pasangan suami-istri. Begitu indah dan ideal dirinya saat mengatakan rayuan dan bahkan melakukan pengorbanan. Namun, lihat dulu apa yang akhirnya terjadi saat ini, ya saat ini! Saat ini tidak sama dengan saat itu. Saat ini ketika sudah satu tahun lebih menjalani kehidupan rumah tangga ada saja yang membuatnya tidak hangat lagi kepada istrinya. Istri yang sudah berjuang hamil, kemudian melahirkan dan kini istrinya pun kerja menjadi buruh pabrik di bagian gudang. Sesusah payahnya istri dengan apa yang dialami dan dijalankan selama ini. Namun ternyata tidak cukup membuat sang istri menjadi tampak atau bahakan tetap menjadi ideal baginya. Entah setan apa yang telah merasukinya. Ah, tetapi mengapa perlu melibatkan peran setan disini. Picik sekali manusia itu, padahal manusia pun memiliki sifat buruk. Bukan setan yang andil disini. Suami yang dahulu pernah bersikap manja dengan canda dan kata mengelus jiwa, kini ternyata tak beda dengan kaktus. Ya, kaktus! Tanaman kecil yang penuh dengan duri dan kering. Saat digenggam batangnya akan bersedialah tangan kita terluka. Si suami kini layaknya kaktus dihadapan istri. Istri dipersalahkan, dijadikan bulan-bulanan kekesalan, dipaksa berubah menjadi samsak yang berfungsi sebagai alat pemuas emosi berupa pukulan. Ada saja yang suami persoalkan untuk menjadi keluh kesah seolah tak pernah merasa bahagia. Hingga sampai pada pengakuan bahwa suami tak pernah merasa bahagia dan merasa tak ada gunanya memiliki sang istri seperti itu. Menyedihkan, menyulut emosi, memprihatinkan dan semua kekecewaan pasti terasa ketika mendengar pengakuannya. Padahal yang suami kerjakan tak lebih dari manusia wajar pada umumnya. Serupa saat masih bujang. Dia hanya bekerja tanpa mencuci, bekerja tanpa memasak, bekerja tanpa mengasuh, bekerja tanpa harus membeli rumah tinggal. Lalu siapa yang mencuci, memasak, mengasuh dan membeli rumah? Adalah mertua atau orangtua sang istri. Bagaimana tidak, suami istri itu masih ditampung dirumah orangtua istri mereka tak memiliki modal nikah apalagi modal rumah tangga. Mendengar realitas yang terjadi di atas maka dapat menjadi bahan refleksi atas ketidakselarasan relasi yang dijalani. Suami masih berada pada cara berpikir primitif, mengapa dikatakan primitif? Hal itu karena pola pikir berhak merasa bahwa dirinya sebagai laki-laki yang diagungkan dalam budaya patriarki. Budaya yang sebenarnya menjadi musuh nyata kaum perempuan. Bagaimana tidak, budaya patriarki menempatkan lelaki sebagai mahluk nomor satu dan memiliki kekuasaan lebih dibanding perempuan. Secara sadar atau tidak, sang suami merasa bahwa dirinya adalah kepala keluarga dalam arti punya kuasa dan berhak memerintah dan memutuskan. Tidak pernah terpikir bahwa sudah berpuluh-puluh tahun penyadaran akan kesetaraan gender digaungkan namun masih banyak sosok “suami” seperti diatas beredar didunia ini. Begitu mudahnya mengatakan tidak suka, tidak nyaman, tidak bahagia. Betapa piciknya memperlakukan perempuan yang dia nikahi dengan kasar dan baku hantam. Seolah ada batu besar yang menimpa keras ke kepala suami hingga ia lupa akan perasaannya yang dulu pernah merasa teramat menyayangi sekaligus hasrat melindungi sang istri. Lelaki yang ideal adalah lelaki yang tidak sempit pemikiran dan pemahaman akan peran serta tanggungjawabnya terhadap perempuan. Tidak merasa superior dan sewenang-wenang dalam hubungan antar lelaki-perempuan. Seharusnya, ketika seorang lelaki mengucap janji setia dan sangat mencinta, maka saat itu juga wajib sadar akan tanggung jawabnya dan komitmen sepanjang masa. Pernikahan tidak serupa dengan pacaran. "Pernikahan adalah komitmen antar dua manusia yang siap hidup bersama sepanjang usia bukan sepanjang hasrat belaka!"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun