Purnama di Langit Subuh
Esween
Kala itu, 14 Dzulhijah 1442H, Â purnama nampak indah di langit Subuh. Cahaya rembulan yang mendekati peraduan masih cerah belum tersaing sang surya. Langit bersih dari sapuan awan. Hanya purnama bulat penuh dengan gemerlap bintang yang baru sekarang kurasa anehnya karena cerahnya luar biasa. Andai saat itu akhir Ramadhan, kurasa itu termasuk tanda Lailatul Qadar, saking indahnya.
Terangnya semoga seterang jalanmu dan tempatmu menunggu di barzakh. Aamiin.
Dalam hening sembari mengusap peti tempatmu berbaring, kubisikkan, kuceritakan keindahan dan cerahnya orange di langit tempat purnama bersiap menutup malam dengan taburan bintang berkelip .
Serasa kita sedang duduk berdua di tempat yang lapang menikmati alam sembari berbincang tentang apa saja. Ah, aku pasti akan sangat merindukan suasana seperti itu. Bertukar komentar tentang berita yang barusan lewat entah di tv atau gawai. Berdiskusi tentang apa saja. Berdebat dari hal remeh sampai masalah umat. Ups. Rasanya seperti kita mampu membuat perubahan.Â
Sangat kuingat pijar matamu tiap kali ikut memposting tulisan recehku yang lolos tayang di media. Teduhnya senyummu saat aku berhasil membantu menyelesaikan tulisan yang akan kamu presentasikan dari hasil searching dan diskusi kita. Perbicangan seperti itu salah satu hal yang dari awal aku sadari bakal sangat aku rindukan. Aku yang suka meledak-ledak dan impulsif sering tunduk di bawah ketenangan dan pendapatmu yang melengkapi hasil diskusi kita.Â
Suka kangen siap siagamu setiap kali aku harus berangkat memenuhi amanah. Motor aman dan full tank sehingga tenang di perjalanan. Ingat banget, suatu ketika karena buru-buru aku kehabisan bensin di perjalanan, tampak menyesal sekali romanmu saat itu. Padahal aku menceritakannya dengan santai. Maafkan ya Kang
Alhamdulillah, setiap kali kita pergi bermotor, ilmu selalu tak bosan kau berikan. Bagaimana kalau harus jalan di tanjakan, turunan, jalanan ramai. Sampai sekarang aku sering lupa umur kalau sudah nyetir motor. Maklum yang ngajari tukang balap.Â
Ah, mataku merembang lagi.
Ringan sekali mataku merembang tiap kali menyambangi tempat istirahatmu, sampai anak-anak sering menunda setiap diajak ke sana, sebab mereka tahu, Bunda pasti nangis. Padahal tangis Bunda bukanlah tangis sedih. Kadang karena bangga saat menceritakan kalian, anak-anak, qurrata 'ayun yang semoga kelak jadi Muhlisin Uyunul Ummah.
*****
Serasa masih segar di ingatan saat pertama kita bertemu di majelis khitbah. Kita sama-sama hanya berani melempar lirikan dalam diam.
Kedua kalinya saat mengurus persiapan pernikahan. Saat itu kita menunggu Bapak mengurus keperluan di tempat lain, meninggalkan kita berdua yang saat itu 'belum saling kenal'.
Malu sekali mengingatnya. Kamu takut-takut menawarkan mengantarku pulang dan aku dengan 'ketus' menjawab, "Ga usah, tunggu Bapak saja"
Ya ampun. Kamu pasti langsung ingat cerita masa SMP, saat  seorang teman menyebutku : 'Galak!' Duh, malu-maluin.😖ðŸ¤
Kang, aku bersyukur kita dipertemukan 'terlambat'. Sebab tidak ada kata terlambat kalau itu menyangkut ketetapanNya. Dan hikmah dari terlambat ini memang kita yakini. Sebab banyak kejadian di masa lalu yang harusnya bisa membuat kita saling berinteraksi tapi Allah tunda. Aku baru ngeh pas baca diary yang kutulis semasa SMA, ternyata kita dulu pernah dikumpulkan di OSIS tapi tidak pernah kerja bareng sebab aku bolos terus setiap ada kegiatan, entah karena apa. 🙄🤔
Ga kebayang ya kalau kita ketemu dulu masa remaja. Sifat keras kita pasti akan sering bertabrakan dan menjauhkan satu sama lain. Mungkin malah kita tidak bisa bareng-bareng menapaki hidup. Membentuk keluarga yang semoga sakinah, juga bareng-bareng berkhidmat pada umat, ehm, ehm....Â
Suratan takdir kita sudah digariskan. InsyaaAllah inilah yang terbaik bagi kita, bagi anak-anak. Semoga asa kita pada mereka berbuah kebaikan dunia akhirat. Aamiin ya rabbal alamiin.
Semoga perpisahan ini hanya sementara untuk kelak dipersatukan di jannahNya.
Tunggu kami di taman Surga.Â