Mohon tunggu...
Nunik Hariyanti
Nunik Hariyanti Mohon Tunggu... -

Master Student of Strategic Communication Management (Chulalongkorn University), Alumnae of Communication Departement - UPN "Veteran" Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Anti Korupsi? Perlu?

2 Mei 2012   01:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:51 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Setelah Angelina Sondakh masuk ke dalam penjara akibat kasus suap dalam kepengurusan anggaran di Kemenpora Tahun Anggaran 2010/2011 dan dugaan korupsi di beberapa universitas di lingkungan Kemendikbud. Ingatan publik juga tidak akan lupa dengan kasus Wisma Atlet yang menyeret nama Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat yang juga menjadi salah satu anggota DPR. Selain itu masih ada kasus korupsi yang dilakukan oleh pegawai golongan IIIA di Dirjen Pajak yang bernama Gayus Tambunan. Kasus yang dilkukan oleh Gayus ini mungkin adalah yang paling banyak menyedot perhatian publik, karena bagaimana mungkin seorang yang memiliki jabatan di golongan IIIA mampu memiliki rumah mewah, uang tabungan yang cukup banyak dan mampu berpelisir di Pulau Dewata menonton pertandingan Tenis, padahal seharusnya ia berada di jeruji besi. Nama-nama diatas ini adalah sebagian kecil dari pelaku yang melakukan korupsi di instansi yang mereka pegang, masih banyak diluar sana nama-nama yang menjadi tersangka dan juga masih bebas berkeliaran menikmati hasil korupsi yang mereka lakukan.

Pemberantasan kasus korupsi hingga kini masih belum memberikan hasil yang memuaskan. Indonesia sudah mengalami 13 tahun waktu reformasi, sebenarnya reformasi 1998 itu adalah ditujukan untuk memperbaharui sistem yang sudah lama bobrok. Masyarakat mungkin mengenal dengan KKN yang dilakukan di jaman Orde Baru, dimana KKN bisa dengan bebasnya terjadi. 32 tahun waktu yang lama untuk membiarkan KKN khususnya korupsi untuk bermetamorfosa dan juga mendarah daging di berbagai aspek kehidupan sehari-hari bermasyarakat. Jangan menyalahkan jika saat ini penyakit terbesar yang bernama korupsi menggerogoti moral bangsa kalau saja ada itu sudah tertanam sejak nenek moyang kita. Mungkin nama-nama seperti Angelina Sondakh, Gayus Tambunan, Nazaruddin dan lainnya adalah tokoh-tokoh sisa pembentukan karakter dari jaman dahulu yang masih menggunakan cara kuno “korupsi” untuk memperkaya diri sendiri dan mempraktekkannya di masa sekarang ini.

Korupsi adalah masalah serius yang harus ditanggulangi oleh semua pihak dan elemen di dalam masyarakat. Kita tidak dapat menutup mata untuk masalah ini karena bangsa ini sudah terlalu banyak memiliki permaslah yang sangat kompleks dan saling berkaitan satu sama lain. Korupsi terjadi karena permasalahan pendidikan yang tidak selesai untuk menerapkan bagaimana ideologi anti korupsi ditanamkan.

Jika melihat dari sistem pengajaran yang dilakukan guru sekolah di Indonesia menurut Prof. Masaki Sato, staf ahli The Japan International Cooperation Agency (JICA), guru belum mempunyai pemahaman yang mendalam terhadap topik yang akan dibahas. Hal ini berbeda dengan yang dilakukan oleh guru di Jepang, dimana sebuah masalah diberikan kepada individu siswa dan membiarkan siswa menyelesaikan permasalahan tersebut baik secara kelompok atau individu. Siswa lebih banyak berdiskusi dan memikirkan solusi terbaiknya secara individu, sehingga sejak dini mereka dapat lebih peka untuk mengasah pikirannya sendiri. Namun, hal ini berbanding terbalik dengan di Indonesia yang sebagian besar jam untuk belajar di kelas dihabiskan dengan mendengarkan ucapan dari guru dan jarang untuk melibatkan siswa dalam mengambil keputusan.

Penjabaran diatas adalah salah satu yang mungkin menyebabkan korupsi masih menjadi musuh bersama. Upaya untuk memperkokoh pendidikan anti korupsi yang perlu ditekankan adalah membangun ideologi pendidikan anti korupsi. Ideologi tersebut dimaksudkan agar memutus mata rantai dari korupsi itu sendiri. Pendidikan adalah gerbang utama dalam menanamkan nilai kesadaran generasi muda, terutama untuk mengash kepekaan, menjauhkan diri dari segala bentuk perilaku korupsi dan hal ini diharapkan bisa menjadi lebih efektif.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga yang bertugas untuk memberantas korupsi di negeriini. Sebagai lembaga yang seperti serigala yang siap menerkam mangsanya yang melakukaan korupsi, banyak melakukan cara untuk menangkap para koruptor dan juga menyadarkan masyarakat untuk tidak melakukan hal tersebut. Baru-baru ini cara yang dilakukan oleh KPK adalah dengan dibuatnya film yang berjudul Kita Vs Korupsi (KvsK). Melalui media ini KPK mengangkat kondisi sistem nilai di kehidupan sehari-hari, seperti sekolah, keluarga, tempat kerja yang bisa membentuk masyarakat untuk berperilaku jujur atau sebaliknya. Sebenarnya masih banyak yang dipakai untuk memberantas korupsi, mungkin salah satunya adalah melalui media film.

Selain melalui media film, KPK ternyata benar-benar serius untuk menanamkan pendidikan anti korupsi. Hal ini terlihat dari kerjasama yang dibuat tahun ini oleh KPK dan Kemendikbud.

Pendidikan merupakan tempat ideal untuk indoktrinasi nilai-nilai kebajikan (learning values) sekaligus transformation of knowledge. Ideologi pendidikan anti korupsi yang ditanamkan sejak dini sangat penting sebagai upaya pembentukan karakter yang menekankan pada pembiasaan bukan sekadar mementingkan aspek kognitif.

Saat ini pembelajaran yang monoton serta lebih berfokus pada pemberian materi dari guru adalah harus diubah, jika tidak, sulitlah untuk siswa menerima pembelajaran terutama tentang ideologi anti korupsi. Pembelajaran tentang anti korupsi harus dilakukan sejak dini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun