Mohon tunggu...
Nuni Azizah
Nuni Azizah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Airlangga

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengenal Fatherless: Menyelami Dampaknya Terhadap Kondisi Seorang Anak

6 Juni 2024   13:40 Diperbarui: 6 Juni 2024   13:51 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kepribadian  anak  yang  baik  merupakan cermin  keberhasilan pengasuhan,  didikan  dan  bimbingan  yang  dilakukan  orang  tua. Sebuah  keluarga  digambarkan  seperti  perusahaan  yang  memiliki  pemimpin,  pemimpin  dalam  sebuah keluarga  adalah seorang  ayah. Tidak hanya berkewajiban untuk mencari nafkah dan memenuhi biaya hidup, seorang ayah juga memiliki peran dan kewajiban dalam proses pengasuhan anak. Anak  yang  ayahnya  tidak menunjukkan kasih sayang akan memiliki dampak negatif langsung pada kehidupan mereka di masa depan.

Di beberapa negara termasuk Indonesia masih terdapat kurangnya peran ayah dalam hal pengasuhan. Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2017 tentang kualitas pengasuhan anak di Indonesia, menyatakan sebelum menikah, hanya sebesar 27,9% calon ayah yang berusaha mencari informasi tentang cara mengasuh dan membesarkan seorang anak, dan setelah menikah, hanya 38,9% ayah yang mencari informasi tentang bagaimana cara mengasuh anak. Berdasarkan data dari United Nations Children's Fund (UNICEF) pada tahun 2021, sekitar 20,9% anak-anak di Indonesia tumbuh tanpa kehadiran ayah. Pada sisi lain, menurut data Susenas 2021, jumlah anak usia dini di Indonesia mencapai 30,83 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, 2,67% atau sekitar 826.875 anak usia dini tidak tinggal bersama ayah dan ibu kandung. Kemudian, 7,04% atau sekitar 2.170.702 anak usia dini hanya tinggal bersama ibu kandung.

Fenomena ketidakhadiran sosok ayah dalam pengasuhan atau fatherless juga disebabkan oleh adanya pengaruh budaya lokal terhadap paradigma pengasuhan. Stereotip budaya  mempengaruhi  pandangan  bahwa seorang laki-laki  tidak  seharusnya  merawat  anak,  tidak  terlibat  dalam  proses  pengasuhan. Salah satu fenomena stereotip budaya yang ada di Indonesia tepatnya di salah satu kecamatan di Boyolali masih ada budaya patriarki, yaitu budaya merawat dan mengasuh anak sepenuhnya dilakukan oleh seorang ibu. Selain itu, pernikahan dini menyebabkan orang-orang belum matang dari segi pengetahuan tentang anak-anak, sehingga mereka tidak tahu bagaimana mengasuh anak. Selain itu, dinamika sosial saat ini melibatkan kehamilan di luar nikah, yang berarti individu tersebut belum siap untuk memiliki anak dan tidak memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk merawat anak. (Novita, Fasli, & Asep, 2023)

Fenomena fatherless terjadi juga disebabkan oleh kesibukan sang ayah dalam bekerja yang menyebabkan waktu kebersamaan dengan anak sangat kurang bahkan cenderung tidak berkualitas. Interaksi yang ada hanya sebatas menyapa dan meminta bantuan, tidak sampai pada menaruh perhatian terhadap anak. Faktor lain yang menjadi penyebab fatherless yaitu perceraian, kematian ayah, perpisahan oleh karena permasalahan dalam hubungan pernikahan, atau perpisahan oleh karena permasalahan kesehatan fisik atau psikologis masing-masing. Berdasarkan laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2023, angka pasangan yang bercerai di Indonesia mencapai 463.654 kasus. Terdapat 10 provinsi dengan jumlah kasus perceraian tertinggi, yakni Jawa Barat 102.280 kasus, Jawa Timur 88.213 kasus, Jawa Tengah 76.367 kasus, Sumatera Utara 18.269 kasus dan DKI Jakarta 17.263 kasus. Diikuti Provinsi Banten 16.158 kasus, Lampung 15.784 kasus, Sulawesi Selatan 14.612 kasus, Sumatera Selatan 11.450 kasus dan Riau 10.141 kasus.

Pada umumnya, dalam keluarga peran ayah itu memiliki peran yang tidak dapat digantikan oleh seorang ibu. Anak laki-laki ataupun anak perempuan sama-sama membutuhkan sosok ayah  untuk  mendampingi  dan  melindungi  dalam  proses  pertumbuhannya. Anak yang dibesarkan tanpa  seorang  ayah  memiliki  kemungkinan  lebih tinggi  untuk  hidup  dalam kemiskinan,  bahkan  dapat  melakukan  kejahatan,  putus  sekolah,  dibandingkan  anak-anak yang memiliki orang tua lengkap. Hilangnya peran ayah akan berdampak pada hal-hal lain seperti gangguan emosi, kecemasan, hingga depresi. Anak yang kehilangan peran ayah cenderung akan mengalami yang namanya kehilangan kepercayaan diri. Mereka mengalami kesulitan dalam membangun hubungan sosial dengan orang lain karena merasa tidak mendapatkan kepercayaan atau sulit untuk menunjukkan perhatiannya kepada orang lain.

Fenomena fatherless merupakan masalah yang serius yang perlu ditangani secara efektif. Orang tua dan lingkungan masyarakat perlu meningkatkan kesadaran terkait pentingnya keseimbangan antara peran ayah dan ibu dalam keluarga. Penting juga bagi masyarakat untuk perlahan-lahan menghilangkan stereotip budaya tentang seorang ayah tidak perlu terlibat dari proses pengasuhan anak. Pemerintah dapat berperan dalam menciptakan suatu program atau kebijakan yang dapat mendukung keterlibatan ayah dalam keluarga seperti memberikan kebijakan cuti pada ayah yang memadai sehingga ayah dapat memiliki kesempatan untuk terlibat dalam mendampingi pasangan mereka selama masa persalinan dan masa awal kehidupan anak mereka. Dengan langkah-langkah tersebut, kita bisa melangkah menuju masa depan dimana anak-anak tidak lagi mengalami kehilangan perhatian seorang ayah dalam kehidupannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun