Kitaeff (2017) mengungkapkan ilmu forensik adalah kajian dan praktik penerapan ilmu alam, ilmu fisik, dan ilmu sosial pada resolusi isu-isu sosial dan hukum. Ilmu forensik di dalam pengadilan hukum berbentuk kesaksian ilmiah ahli. Sejumlah disiplin berada di bawah payung ilmu forensik, salah satu disiplin tersebut yakni psikologi forensik. Bartol & Bartol (dikutip dari Kitaeff, 2017) mengemukakan definisi dari psikologi forensik adalah (1) kegiatan penelitian yang memeriksa aspek perilaku manusia yang berkaitan langsung dengan proses hukum maupun (2) praktik-praktik profesional psikologi di dalam, atau berkonsultasi dengan sebuah sistem hukum yang mencakup hukum perdata maupun pidana. Dalam Filsafat Ilmu, terdapat pembahasan mengenai "Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik", maka pada artikel ini penulis akan menjelaskan psikologi forensik dalam ketiga perspektif tersebut.
Psikologi Forensik dalam Perspektif Moral
Surajiyo (dikutip dari Nasution dan Haris, 2018) menjelaskan bahwa moral adalah kondisi pikiran, perasaan ucapan, dan perilaku manusia yang terkait nilai-nilai baik dan buruk. Â Tujuan moral adalah mengarahkan sikap dan perilaku manusia agar menjadi baik sesuai dengan ajaran dan paham yang dianutnya. Ilmu tidak bisa dibiarkan lepas dari moral, karena ilmu harus selalu didampingi oleh moral. Jika tidak, maka ilmu akan menjajah manusia dan menjadikan manusia serakah dan curang akan ilmu yang dimilikinya.Â
Berdasarkan pernyataan tersebut,dalam perspektif moral, seorang psikolog forensik pun turut memiliki moral dalam menjalankan perannya. Kewajiban, wewenang, hak, serta batasan psikolog forensik diatur dalam berbagai pedoman, yaitu Specialty Guidelines for Forensic Psychologists (Committee on Ethical Guidelines for Forensic Psychologists (CEGFP); Ethical Principles of Psychologists and Code of Conduct APA; American Board of Forensic Psychology; Society for Law and Psychology: Guidelines for Child Custody Evaluations in Divorce Proceedings; dan Kode Etik Psikologi Indonesia HIMPSI.Â
Dikhawatirkan apabila tidak adanya batasan-batasan seperti pedoman tersebut, seorang psikolog forensik dapat menyalahgunakan ilmu yang dimilikinya maupun menjangkau cakupan yang tidak sesuai dengan kompetensinya.
Psikologi Forensik dalam Perspektif Sosial
(1) Tanggung Jawab Profesional: Suriasumantri (1986) menyebutkan tanggung jawab profesional mencakup asas  (1) kebenaran; (2) kejujuran; (3) tanpa kepentingan langsung; (4) menyandarkan kepada kekuatan argumentasi; (5) rasional; (6) objektif; (7) kritis; (8) terbuka; (9) pragmatis; dan (10) netral dari nilai-nilai yang bersifat dogmatik dalam menafsirkan hakikat realitas.Â
Peran psikolog forensik sebagai peneliti yaitu melakukan sejumlah penelitian sebagai dasar pembuktian suatu perkara, serta berdasarkan Kode Etik Psikologi Indonesia HIMPSI pada pasal 59 ayat (1): Psikolog dalam memberikan kesaksian sebagai saksi ataupun saksi ahli harus bertujuan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dan dalam menyusun hasil penemuan psikologi forensik atau membuat pernyataan dari karakter psikologi seseorang berdasarkan standar pemeriksaan psikologi.Â
(2) Tanggung Jawab Sosial:Â Seorang ilmuwan menciptakan ilmu atau pengetahuan untuk dipergunakan atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Sehingga ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial yang terpikul di bahunya, karena mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat fungsinya selaku ilmuwan tidak terhenti pada penelaahan dan keilmuan secara individual namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuan sampai dan dapat dimanfaatkan masyarakat (Suriasumantri, dalam Nasution dan Haris, 2018).Â
Berbagai peran psikolog forensik memberikan banyak manfaat kepada masyarakat, seperti contohnya menjadi peneliti, konsultan dalam pengadilan, evaluator forensik dan saksi ahli dalam persidangan, memberi pertimbangan psikologis bagi proses banding legislasi. Sebagai contoh, ketika menghadiri persidangan, psikolog sebagai saksi ahli datang untuk menjelaskan perkara yang terjadi dalam perspektif psikologi.
Psikologi Forensik dalam Perspektif Politik
Suriasumantri (1986) menjelaskan bahwa sikap politik ilmuwan adalah konsisten dengan asas moral keilmuan. Terdapat empat asas moral yang bersifat unik yang mempengaruhi sikap politik formal, yaitu (1) kebenaran; (2) kejujuran; (3) tidak mempunyai kepentingan langsung; dan (4) menyandarkan diri kepada kekuatan argumentasi dalam menilai kebenaran atau dengan kata lain tidak memiliki ikatan primordial secara moral, psikologis, sosial maupun politis dalam pengambilan keputusan. Seorang psikolog forensik diwajibkan menaati peraturan yang terdapat dalam kode etik, salah satunya dalam menjalankan tugasnya tertuliskan untuk tidak bias dan berterus terang ketika mengemukakan asesmen dan pendapatnya dan tidak diwajibkan untuk memberikan kesaksian yang favorable karena hubungan kontraktual dengan salah satu pihak di dalam sebuah kasus.
Ditulis oleh Nungky Ramadiany, S.Psi.Â
Mahasiswa Magister Ilmu Forensik Universitas Airlangga
Referensi:
- Himpunan Psikologi Indonesia. (2010). Kode Etik Psikologi Indonesia. Surakarta: Pengurus Pusat Himpunan Psikologi Indonesia
- Kitaeff, Jack. (2017). Psikologi Forensik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
- Nasution, M. S. S. A., Haris, R. M. (2018). Filsafat Ilmu. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
- Suriasumantri, J. S. (1986). Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik: Sebuah Dialog tentang Dunia Keilmuan Dewasa Ini. Jakarta: PT Gramedia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H