Hari-hari belakangan ini terutama sejak tanggal 1 Juni 2014, pembicaraan masyarakat Indonesia tidak jauh-jauh dari urusan copras-capres. Demam pilpres sudah melanda Indonesia. Semuanya sibuk membicarakan jagoannya. Mulai dari diskusi ringan penuh canda membicarakan sosok idolanya sampai dengan debat serius sok idealis - atau memang benar-benar peduli - memprediksi apa yang akan terjadi apabila sosok Prabowo atau Jokowi yang menjadi pemenangnya.
Saluran informasi dua arah pada saat ini mempermudah siapapun  yang memiliki gadget dan jaringan internet untuk ikut memeriahkan demam pilpres. Bagi mereka yang netral ( namun cenderung tetap menggunakan hak pilih ), ajang pilpres menjadi ladang menimba ilmu mulai dari disiplin ilmu filsafat, agama, komunikasi, psikologi, fashion & design (?) bahkan sampai dengan ilmu togel yaitu utak atik gathuk. Seru sekali dan semuanya dilakukan dengan sadar karena ingin terlibat secara langsung dan menambah pengetahuan seluas-luasnya mendompleng kemeriahan suasana pilpres yang sistemnya sudden death seperti perpanjangan waktuFinal Piala Dunia pada masa lalu. Bagi yang netral memilih salah satu dari dua kontestan menjadi lebih asyik karena prosesnya sangat akademik dan membutuhkan analisis yang sedikit rumit. Argumen yang muncul pada perdebatan di milis, twitter, FB dan media sosial lainnya umumnya telah ada rujukan pada referensi hipotesis atau tesis yang kuat. Sayangnya kalangan ini hanya segelintir yang muncul. Tanya kenapa?
Namun suasana kenetralan terusik dengan membabi butanya kampanye dukungan pendukung masing-masing terhadap jagoan pihak lawan dan memuji-muji dengan sedemikian rupa sang jagoannya. Saya pernah membaca - lupa siapa yang nulis, lagian males nyari link-nya - katanya pilihan masing-masing kita yang sudah berhak memilih sudah di lock ke salah satu kontestan. Kadarnya sekitar 70% pasti memilih sang jagoan. Nah sisanya dikonsentrasikan untuk 15% mencari pembenaran ( kalau diserang ) dan 15% lainnya mencari-cari kesalahan jagoan pihak lawan.
Fanatisme untuk diri sendiri tentu tidak membuat kegaduhan. Akan menjadi persoalan di sini apabila fanatisme yang merupakan pemihakan mutlak tanpa dapat diganggu gugat mulai dipublish ke ruang publik. Celakanya sentilan sedikit saja akan keyakinan berdampak membuka front peperangan. Apabila yang memantik singgungan adalah pihak netral, mungkin tidak terlalu berdampak destruktif. Namun apabila yang memantik adalah pihak lawan maka serangan balasan pasti akan dilancarkan dengan menggunakan kekuatan pembenaran dan mencari-cari kesalahan pihak lawan. Dan ini akan dilakukan secara all-out dan at all costs dimulai dari sindirian sampai black campaign sampai-sampai lupa makan dan tidur demi mencari kepuasan batin.  Ya...kepuasan batin tidak lebih dan tidak kurang. Karena apabila dipikir secara matang, seseorang pendukung yang tidak memiliki kedudukan formal struktural - timses terakreditasi pihak capres - jelas tidak akan memperoleh apapun selain kepuasan batin.
Lalu apa yang diperoleh dengan kegaduhan-kegaduhan ini? Tidak ada. Ilmu positif pun tidak diperoleh kecuali kesenangan semu karena merasa mampu menyerang dan bertahan. Keuntungan materi tidak. Keuntungan batin saja dan tentu saja ini hanya akan menjadi kenangan bersejarah di masa depan. Ibaratnya nyimpen kado untuk diceritakan pada anak cucu kelak. Lah..iya kalo dampak serang menyerang tidak menimbulkan kegaduhan horisontal pada tataran nyata. Kalo terjadi gimana? Apakah kenangan tersebut bisa diceritakan langsung kepada anak cucu?
Mari berharap kegaduhan yang tidak perlu dalam proses pilpres ini diminimalisir dan hanya terjadi pada tataran dunia maya dan tidak terjadi pada dunia nyata.
MERDEKA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H