Mohon tunggu...
Tahta Kurniawan
Tahta Kurniawan Mohon Tunggu... Freelancer - Young and Enthusiasm

Banjar\r\n10 Januari 1996

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Masa Lalu di Balik Malam yang Mencekam

28 Agustus 2014   00:07 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:20 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Senja menguning di kejauhan dengan derap rombongan awan putih berubah menjadi oranye gelap mencekam mengikutinya. Laki-laki yang rambutnya kusut gondrong menampilkan pantulan cahaya keemasan dari langit. Kantung matanya menggelembung seolah-olah ia tak pernah memejamkan matanya barang untuk mengerjap. Sekarang jalan kakinya terhuyung-huyung melewati semak-semak yang mulaibersembunyi ketakutan di terpa gelapnya malam.

“Jebrak” tubuhnya goyah menimpa tanah sekali dua kali dan ia mulai bangun dengan bibir coklat kehitaman dan tentu saja bau alkohol yang pekat menguasai pakaiannya yang lusuh dan kotor.

Ternyata ia baru sadar telah melewati beberapa rumah penduduk yang menilik dari balik jendela di sore menjelang malam. Mereka mengamati Jali. Jagoan pasar batuah Martapura yang selalu di takuti semua orang. Pernah dahulu rumor beredar ibunya pernah ia pukul dengan paikat hiasan dinding yang terbuat dari rotan. Sekarang, hari ini, ia terlihat kembali di kampung setelah lama menghilang. Semua orang tidak tahu mengapa ia menghilang selama satu minggu dan sekarang kembali menampakan batang hidungnya yang membuat orang kecil merinding dengan gelarnya “Jali Si Jagau Pasar”.

Akhirnya setelah melewati seperempat malam dengan gontai. Jali melangkahkan kaki dirumahnya. Hingga kakinya tak mampu menahan bobot tubuhnya hingga membentur lantai dengan keras. Malam semakin tinggi, hingga hanyalah jangkrik-jangkrik kecil beradu dengan gemuruh suara mengoroknya. Mulutnya terbuka dengan bau alkohol yang bercampur dengan bau lembab tanah yang menempel di baju kirinya saat terjatuh di semak-semak tadi sore.

Saat di tengah-tengah malam dan juga di tengah-tengah kegelapan rumah tanpa penerangan ia terbaring di tengah rumahnya menghadapkan kepalanya ke atas ke arah atap berlubang yang menampilkan langit yang gelap. Tiba-tiba Ia berteriak dengan keras “Tuhan !”.

Dalam teriakannya terdengar parau dan diikuti dengan sedikit nada menahan batuk. Lalu ia meneruskan dalam keadaan kaku dan telentang dengan kedua tangan terbuka kekanan dan kekiri begitu juga kakinya. Kepala, tangan dan kakinya membentuk segilima dan seolah-olah anggota tubuhnya meminta pengampunan di tengah malam yang mencekam.

Akhirnya ia meneruskan kata-kata paraunya yang juga mencipratkan air liur di sekitar kumisnya di tengah kegelapan. “Tuhan. Aku ini jagoan. Mengapa aku belum puas dengan minuman keras itu.”

Jali mendeham keras mencoba menggerakan kaki dan tangannya. Tentu saja tetap kaku dan ia sendiri tidak tau apakah itu pengaruh dari minuman keras ataukah karena sesuatu yang lain.

Rambut gondrongnya tergerai masuk di sela-sela lantai kayu yang sudah tua. Kepalanya kembali ia hadapkan ke atas. “Bangsat. Bungul. Tambuk.” Teriaknya memaki.

“Tuhan Bisu !.”

“Tuhan Buta !.”

“Tuhan Tuli !.”

“Tuhan memang tak ada !.”

“Bunuh aku jika kau memang mampu !. Aku banyak memiliki untalan dari bulu hingga batu!”

Teriakan terakhirnya memakan seluruh suara nya hingga tak mampu mengeluarkan kembali kata apapun. Tubunya tetap tak mampu di gerakan. Angin malam menghembus keras, menimbulkan gemersik dedaunan saling mencaci. Malam semakin gelap. Ia sendiri tak mampu melihat langit diatasnya dari lubang besar di atap. Ia tak mampu merasakan tangan dan kakinya. Ia tak mampu berkata walau mencaci nama ‘Tuhan’. Tubuhnya semakin melemas, desah nafasnya melemah, denyut nadinya mengecil . Tetapi ia masih hidup.

Di antara sadar atau tidak. Dari balik kegelapan malam muncul langkah kaki yang tak melangkah—terbang. Kakinya hitam lembut, bajunya putih sangat nampak di kegelapan. Dari sebelah kiri tubuh Jali. Sesosok perempun telah berdiri tegak. Rambutnya hitam panjang menutupi leher hingga dada. Jali memandang wajahnya dengan tak sadar. Perempuan itu tersenyum di balik kegelapan. Bukan senyum bahagia, bukan pula senyum kasihan. Tetapi senyum yang menampilkan keputus asan. Dari balik kegelapan Jali melihat bibirnya hitam dengan lengkungan yang ia kenal, bibir yang dahulu pernah ia rasakan dengan paksa. Matanya hitam kecoklatan yang juga pahami ketika tubuhnya Jali pernah pegang. Dan seolah-olah perempuan itu berkata dalam kegelapan. “Mengapa dahulu tidak kau bunuh saja aku.”

Jali menjawab dengan gerakan bibir tanpa suara “Aku menyukaimu. Sungguh sangat.”

“Aku tidak.” Balas perempuan itu. “Dan karena itulah aku membunuh diriku dan juga anakku dengan racun.”

“Tetapi itu juga anakku.” Kata jali kembali

“Bukan !.” teriak perempuan itu.

“Jadi itu anak siapa ?” jali membalas

“Itu anak setan !”. teriaknya . “Dan setan itu adalah kau.”

Keterngan :

pasar batuah Martapura : Sebuah pasar di daerah Kabupaten Banjar.

paikat : benda terbuat dari rotan memukul kasur

Jali Si Jagau Pasar : berarti Jali si jagoan pasar

Mengoroknya : mendengkurnya

Bangsat. Bungul. Tambuk : adalah kalimat cacian yang sangat kotor

untalan : sesuatu yang pernah ia makan – biasanya bersifat sakral atau ilmu kanuragan

Tahta Kurniawan

Yogyakarta

27 Agustus 2014

Kalimat penutup.

"Masa lalu adalah menentukan arah kemana dan dimana seseorang berdiri"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun