Betul, Negaraku tercinta ini semakin terkoyak oleh penghuninya.
Pada masa ini kembali rapuh, mereyot seperti sebagian atap penghunimu yang tinggal digubuk pinggir kali.
Rentan oleh pengumbar janji yang mau memolesmu dan memamerkanmu sebagai citra kebanggaan.
Kini, apa? Pucuk penjagamu kembali mandul, membinasakan kepercayaan jutaan pengikutnya.
Program 'revolusi mental' itu hanya kamuflase. Secara kasat mata betul Negara ini harus menjalani perbaikan mental dari lini bawah sampai atas. Kami yang dibawah sudah mulai sebelum tercetus program itu. Kami mendukung karena dirasa cocok dengan moto hidup.
Lah kok malah 'jeblok mental' yang diajarkan sekarang.
Apatis, kembali bersikap apatis terhadap pengelola Negara ini. Memilih jadi pelaku yang cinta Negara dengan cara mandiri.
Pantang menjadi pengikut fanatik. Anda benar kami dibelakangmu, anda salah kami menceburkanmu dalam lubang buaya,jika perlu.
Kami berdiri diatas tanah tempat kami dilahirkan dan menikmati hasilnya dengan cara mencari dengan keringat sendiri.
Kami bukan hidup karena ada pemimpin.
Apa kebanggaan menjadi pengambil keputusan jika keputusanmu merusak benih baik bangsa ini.
Malulah pada tanah yang kau pijak, yang sudah memberi kesempatan bernaung semasa hidup.
Dimana rasa terima kasih kita? jika tidak bisa membangun, paling tidak merawat.
Antusiasme dalam diri memberi dukungan terhadap lembaga yang bekerja dengan baik dan serius memperbaiki nilai bangsa, itu pun dilalap dengan cara tidak elegan.
Sadar disitulah 'jeblok mental' mulai diajarkan.
Kecewa, marah, sedih, campur aduk karena tidak bisa berbuat apa-apa.
Jadi apa sebetulnya yang mau diajarkan pada generasi ya.
Apa disuruh jadi penonton selama kalian bertanding?
Maaf deh, perut harus diisi, harus mengajar anak ilmu baik dengan cara menutup mata dan telinganya dari suara2 kalian yang lantang soal materi pembualan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H