Jika satu-satunya negara dengan title guru honorer di sandang oleh Indonesia, mungkin saya juga boleh menuliskan bahwa guru dengan seabrek title juga hanya dimiliki oleh Indonesia.
Terlebih semenjak Mas Mentri Nadim Anwar Makarim menjabat sebagai Kemendikbudristekdikti, title guru di Indonesia menjadi seabrek.
Kenapa? karena sebelumnya perdebatan tentang title guru hanya sebatas guru honorer dan PNS, namun di era Mas Mentri perdebatan tentang title guru di Indonesia menjadi lebih banyak.
Tidak hanya sebatas S.Pd (sarjana pendidikan), guru sertifikasi saja diberi title (Gr) lalu guru penggerak (GP), guru pengajar praktik (PP), guru fasilitator (fasil), dan guru instruktur.
Sampai-sampai banyak guru memplesetkan setelah selesai mengerjakan pengelolaan kinerja di PMM mendapat title "guru Platform Merdeka Mengajar (PMM)".
Bila diilustrasikan mungkin akan seperti ini, Agustian Deny Ardiansyah, S.Pd., Gr., GP., PP., Fsl, Inst, P.df., PMM (haha). Untuk apa coba title guru seabrek itu?.
Jika kita kembali pada kompetensi guru di Indonesia maka seyogyanya bukan title seabrek yang perlu ditingkatkan atau ditambahkan.
Seharusnya yang ditingkatkan dan ditambahkan adalah pemenuhan kompetensi guru yang meliputi kompetensi profesional, pedagogik, sosial dan kepribadian.
Empat kompetensi guru itulah yang seharusnya dapat ditularkan secara merata dan setara terhadap semua guru-guru di Indonesia.
Bukan sebaliknya, dilakukan berdasarkan kreteria-kreteria tertentu sehingga membuat title guru mejadi lebih seabrek namun berbanding terbalik dengan kompetensi guru di lapangan.