Beberapa hari ini santer diberitakan tentang seorang guru Pendidikan Agama Islam asal Sumbawa, Nusa Tenggara Barat bernama Pak Akbar Sarosa.
Pak Akbar Sarosa dilaporkan ke polisi karena orangtua siswa tak terima anaknya dihukum gara-gara tak mengikuti sholat berjama'ah di sekolah.
Tak hanya dilaporkan, namun Pak Akbar Sarosa juga dintuntut Rp50 juta oleh orangtua siswa gara-gara tindakannya.
Selain itu juga ada kisah dari Pak Zaharman guru asal Bengkulu yang diketapel bola matanya oleh orangtua siswa gara-gara tak terima anaknya ditegur oleh sang guru karena kedapatan merokok di sekolah.
Sebagai seorang guru dan memiliki beban pengabdian yang sama untuk mencerdaskan manusia Indonesia, sungguh miris jika mendengar dan membaca berita kedua guru tersebut.
Saya masih ingat betul, jika nilai mata pelajaran dirapot ditulis guru dengan tinta merah, orangtua saya marahnya seminggu penuh, bila ingat ngomel lagi, "bocah kok bodone" (anak kok bodo sekali).
Tapi itulah cara orangtua membantu guru, agar anaknya mau belajar rajin, mau memperbaiki kesalahanya dan lambat laut nilai-nilai yang ditulis dengan tinta merah tadi membaik.
Coba jika dibiarkan, atau tak ditegur oleh orangtua mungkin saya gak jadi apa-apa, atau guru tak jujur dengan nilai saya, sehingga orangtua tak menegur, mungkin saya juga tak jadi apa-apa.
Kembali ke konteks kasus orangtua melaporkan guru atau menindak guru gara-gara anaknya di tegur oleh sang guru.
Bapak, Ibu, Abi, Umi, Papi, Mami dengarkanlah, guru menegur siswa di sekolah karena tidak mematuhi peraturan sekolah adalah hal yang baik dan wajar.