Saya sedang tidak ada di Jogja atau di Jakarta, saya sedang berada di warung sederhana di tengah desa trasmigrasi.
Suasananya sangat asri, kanan-kirinya masih alami, ada embung, ada sawah, ada warga yang bercakap-cakap tentang hasil panen dan kebutuhan hidup sambil tertawa kegirangan tanpa beban, haha.
Warung ini sangat estetik, ditengah angka-angka literasi negara kita yang angin-anginan, sepertinya tidak mempengaruhi warung ini untuk berimprovisasi.
Sudah tau kan, hanya 1 dari 1000 orang indonesia yang punya minat baca, hanya satu! berarti 0,001, namun warung ini tetap nekat menantang survey-survey.
Ketika pertama kali saya masuk, bukan menu makanan yang saya lihat, yang saya lihat adalah rak buku yang di dalamnya tertata rapi buku-buku.
Bukan satu atau dua buku, namun ratusan, dari buku bergenre komik, novel, puisi, cerpen, humaniora, perjalanan, pertanian, filsafat dan buku yang buat otak panas ada di warung itu, dari buku yang tebalnya puluhan hingga ratusan ada, weh-weh.
Saya pikir, siapa yang mau membaca buku-buku itu, yang datang saja orang sarungan, orang sawahan, orang kebunan, orang pasaran, dan orang sayuran.
Kok bisa nekat pajang buku sebanyak itu?, untuk apa?.
Dalam hati berguman, apa mungkin pemilik warung itu adalah 1 dari 1000 orang yang ditulis survay itu, ah biarlah saya datang untuk makan, bukan yang lain.
Naungan itu baru kembali ke titik normal kala penjaga warung menawarkan menu makanan ke hadapanku, ada bakso, ada soto, ada mi ayam ada es teh, es jeruk dan teh tawar.