Mohon tunggu...
Bro NuKe 누기쌤
Bro NuKe 누기쌤 Mohon Tunggu... Guru - "Jadilah Pemimpin yang Melahirkan Pemimpin Mandiri" - Youth Leader

👤 I'm just a disciple of Christ 💝 A sinner who gets God's forgiveness 😇 An ordinary person transformed by extraordinary grace and mercy

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Coaching, Pendidikan, dan Kurikulum 2013

13 Desember 2014   06:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:24 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Dunia pendidikan di Indonesia beberapa waktu lalu bahkan masih terus menjadi pembicaraan sampai saat ini mengenai penghentian kurikulum 2013 oleh pemerintah khususnya melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Dasar dan Menengah. Memang pemerintahan sekarang menjadi trending topic yang menarik untuk terus disoroti dan dibicarakan sebagai dengan gebrakan-gebrakan yang terkesan kontroversial.

Dari semua kontroversi mengenai penghentian kurikulum 2013 dan segala macam dana yang sudah digelontorkan, maka menarik menyimak pernyataan Menteri Anies Baswedan bahwa, "Saya tidak ingin anak-anak kita untuk alat uji coba. Anak-anak kita harus mendapatkan kurikulum yang sudah matang. Jangan anak-anak kita dan guru-guru kita dipaksa melakukan sesuatu sebelum penyiapan yang baik." Pernyataan ini merupakan salah satu pernyataan dari sekian macam pernyataan dirinya ketika diwawancara wartawan tentang alasan dirinya menghentikan kurikulum 2013. Bagi saya pernyataan ini menarik untuk disimak dan dikaji, disatu sisi dunia pendidikan tidak pernah lepas dari yang namanya eksperimen alias uji coba. Di lain sisi dunia pendidikan bukan tempat coba-coba dimana seenaknya seorang pendidik menjadikan peserta didik sebagai kelinci percobaan. Dalam paparan ini melihat beberapa poin penting untuk menjadi perhatian kita bersama baik guru, peserta didik, orang tua, masyarakat, dan pemerintah:

Pergantian dan pemutusan sebuah kurikulum bukan yang utama tetapi  paradigma dunia pendidikan yang harus dikembalikan pada hakikatnya mencerdaskan bangsa

Dalam hal ini menyikapi penghentian kurikulum 2013, maka satu hal yang saya anggap menjadi sangat penting kurikulum yang disajikan guru adalah matang dan siap. Guru bukan lagi membuat peserta didik justru semakin bingung tetapi ibarat seorang chef maka dirinya adalah pengolah masakan yang sudah memasaknya sampai matang dan kemudian menyajikan hidangan ternikmat bagi seluruh peserta didiknya untuk dinikmati. Persoalannya sepanjang saya terlibat dalam dunia pendidikan sejumlah guru di Indonesia masih mempunyai paradigma bahwa yang dimaksud dengan memasak hidangan hanya berhenti pada membuat laporan, lesson plan (RPP), dan berkutat hanya seputar masalah administratif tetapi justru melupakan yang esensi yakni teknis pelaksanaan. Semua guru dan sekolah dengan sangat sibuk dan ramai menelantarkan tugas dan tanggung jawabnya hanya untuk mempersiapkan seluruh laporan tersebut ke dinas masing-masing sampai jika perlu lembur bahkan peserta didik diliburkan. Padahal dalam pelaksanaan semua laporan pada akhirnya hanya menjadi laporan yang ditumpuk dan terlupakan bahkan menjadi usang seiring dengan waktu memenuhi lemari kantor sekolah. Laporan yang begitu tebal, administratif, tekstual, formatual, penuh intrik dan bahkan sedikit hiperbolis.

Setiap era ada kurikulum yang disusun sesuai kebutuhan jamannya dan semua itu baik tetapi yang terpenting  setiap kurikulum harus mengembalikan sistem pendidikan sebagai taman siswa yang menyenangkan serta menempatkan peran orang tua sebagai main teacher

Ini adalah karakter yang jauh sekali dengan dunia pendidikan di luar seperti Finlandia yang lebih menekankan pemanfaatan waktu yang singkat dalam belajar, mengurangi adiministratif yang ribet, tetapi meningkatkan sungguh sumber daya manusianya untuk menutut ilmu dan menjadi proses belajar sebagai proses  seumur hidup. Untuk itu, tidak heran Finlandia sekalipun tidak menerapkan UN, memberikan PR, dan segala macam formalitas yang selama ini diterapkan di Indonesia tetapi mereka khususnya peserta didik dapat menempati pengetahuan yang mumpuni dan berbobot. Salah satu faktornya adalah penanaman sejak dini pendidikan seumur hidup, belajar sebagai gaya hidup seperti yang juga diterapkan pertama kali oleh Ki Hajar Dewantara pada waktu menjadikan pendidikan di Indonesia sebagai taman siswa. Walaupun waktu belajar di sekolah singkat tetapi intervensi dan kerjasama sekolah terutama guru dengan siswa dan keluarganya terjalin sangat baik. Ini berarti siswa bukan saja menikmati pembelajaran yang singkat di sekolah tetapi selepas dari lokasi tersebut guru memantau, menaruh perhatian, menjalin komunikasi rutin dengan orang tuanya dan menitipkan pesan bahwa guru bagi anak tersebut bukan saja di sekolah tetapi justru main teacher adalah orang tua sendiri. Untuk itu, pengorbanan waktu, perhatian, dan tanggung jawab guru bukan sebatas jam kerja tetapi 24 jam hidupnya dirinya harus ready untuk menjadi tempat curhat, konsultasi, bahkan edukasi. Tidak heran anak-anak Finlandia tidak perlu untuk les tambahan seperti sejumlah anak Indonesia yang begitu sibuk dan waktunya tersita dengan sekolah, les ini dan itu, bahkan ikut berbagai macam pelatihan dan kursus. Sedangkan intervensi guru sebatas di sekolah dan peran orang tua tergantikan dengan kesibukan diri si anak dan teman-temannya serta gadget pribadinya.

Kurikulum 2013 memang belum matang karena konsep yang dipaparkan ke sekolah/guru dipaparkan secara berbeda-beda satu sama lain sehingga ada potensi dipelintir sebagian orang untuk kepentingan pribadi

Dalam sebuah seminar dan pelatihan mengenai penerapan kurikulum 2013 tepat sebulan sebelum kurikulum ini diterapkan di Indonesia, salah seorang guru mata pelajaran tertentu level SMA menanyakan semua contoh diterapkan secara tematik bagi sekolah dasar, lalu yang SMA gimana? Pada waktu itu salah seorang utusan kementrian pendidikan menjawab dengan jawaban yang berbelit-belit sampai pada kesimpulan nanti kami bicarakan lagi. Tentu jawaban ini tidak memuaskan sebagian pihak karena dengan  informasi yang begitu singkat, petunjuk pelaksanaan yang begitu rumit dan waktu pelaksanaan yang begitu cepat segera dilaksanakan terutama oleh guru sebagai pelaksana.

Tidak heran pada penerapannya sejumlah sekolah kelimpungan dengan pemanfaatan buku, dana yang digelontorkan, dan penerapannya. Penekanan karakter yang harusnya menjadi core dari kurikulum 2013 justru dimanfaatkan sejumlah kalangan dibawa kepada unsur SARA yang bukan karakteristik Indonesia sebagai negara pancasila. Potensi penyimpangan dana juga nampaknya menjadi begitu besar walaupun dalam hal ini saya sekadar berasumsi karena belum terlalu banyak mendapatkan info di lapangan. Namun yang pasti adalah sejumlah dana yang dikeluarkan menjadi nampaknya mubazir karena seminar dan pelatihan pun tetap tidak mengerti dengan baik oleh pembicara yang berdampak pada peserta yang adalah guru-guru juga tidak memahaminya. Pelatihan pada akhirnya hanya menuntut guru-guru kembali pada persoalan administratif dan bukan lagi teknis praktis yang reformatif dan inspiratif mencerminkan kurikulum 2013.

Ide awal kurikulum 2013 sebenarnya menarik dan patut dikembangkan yakni integrasi setiap ilmu pengetahuan, karakter, dan spiritualitas

Ide awal yang saya pahami pada waktu diperkenalkan kurikulum 2013 adalah kurikulum yang integratif artinya setiap mata pelajaran sebenarnya tidak terpisah satu sama lain. Setiap subjek pembelajaran memiliki keterkaitan yang erat untuk itulah pada pendidikan dasar diterapkan sistem pembelajaran tematik yang menekankan pada unsur karakter sebagai tema yang membangun materi belajar. Setiap materi belajar mewakili subjek belajar utama seperti PPKn, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan IPS yang saling terkait satu sama lain. Pendidikan Agama difokuskan pada pemahaman budi pekerti yang menekankan pembangunan karakter dari iman keperceyaan masing-masing peserta didik yang mengajarkan kebaikan. Hal ini patut disambut dengan baik karena kurikulum pendidikan selama ini lebih banyak dipahami secara partial dan cenderung menjadi phobia peserta didik terhadap subjek pembelajaran tertentu seperti Matematika. Dengan adanya pemahaman pengetahuan yang bersifat integratif menolong peserta didik bahwa proses belajar bersifat holistik dan terkait satu sama lain tidak ada yang lebih sulit atau lebih gampang. Masih ada kecenderungan orang tua dan peserta didik pada umumnya bahwa ilmu-ilmu dasar ini terpisah dan dianggap nanti jika saya bekerja pada bidang tertentu saya tidak memerlukan pembelajaran mata pelajaran tertentu. Walaupun demikian, bagi saya kurikulum 2013 masih sebenarnya masih cenderung ragu-ragu membangun integrasi tersebut karena pada dasarnya ada begitu banyak sekolah dengan sistem pembelajaran di Indonesia menerapakan guru bidang studi. Dengan demikian, kompetensi guru yang bersangkutan hanya sebatas pada mata pelajaran yang diampunya. Ini sebenarnya bisa menjadi PR bagi pemerintah dan institusi-intitusi pendidikan keguruan agar setiap calon guru memahami dan memiliki paradigma serta pengetahuan yang luas.  Misalnya seorang guru sosiologi selain memiliki pengetahuan dari sudut pandang antropologis tetapi juga dari sisi agama, sains, bahkan logika matematika. Seorang guru sains membahas tentang evolusi maka dirinya tidak boleh memberikan pandangan bahwa pendidikan agama dan sains seolah terpisah tetapi justru iman kepercayaan peserta didik harusnya semakin diperkuat dengan pemahaman sains yang dimilikinya. Inilah yang disebut sebagai proses pendidikan yang bersifat integratif, holistik dan berpusat pada karakter sebagai wujud nyata dari penerapan kehidupan spiritualitas peserta didik.

Transisi kurikulum 2006 dan 2013 merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dan saling mempertajam tujuan pendidikan Indonesia

Kurikulum 2006 secara umum menekankan aspek pengetahuan yang holistik bukan saja mencakup kognitif tetapi juga sikap (afeksi), dan keterampilan fisik (psikomotorik). Penekanan pengetahuan yang disamaratakan secara nasional menuai sejumlah reaksi atas pemberlakuan kurikulum 2004 yang berbasiskan pada kompetensi peserta didik. Untuk itulah, lahirnya kurikulum 2006 yang menekankan pada keunikan masing-masing daerah dan sekolah memberikan angin segar bukan saja untuk peserta didik tetapi juga guru-guru. Tuntutan belajar dan keunikan setiap peserta didik menjadi perhatian utama sehingga bukan sekadar angka kelulusan dari sisi kognitif sebagai penentu utama kelulusan tetapi juga aspek sikap dan keterampilannya. Hal ini memang seperti dipaparkan oleh Howard Gardner bahwa kecerdasan seseorang tidak ditentukan dari satu sisi saja tetapi setidaknya ada 9 macam kecerdasan yang dapat dikembangkan.

Kurikulum 2013 adalah reaksi terhadap kurikulum 2006 dimana masih banyak peserta didik terlibat narkoba, kehidupan bebas, dan tawuran. Tingkat kriminalitas remaja dan anak sekolah yang makin meningkat menjadi keprihatinan negeri ini pada waktu itu bahkan sampai hari ini. Untuk itulah penekanan pada karakter menjadi perihal utama sebagai ide awal melahirkan kurikulum baru. Sempat muncul wacana kurikulum 2006 berbasis karakter tetapi kemudian dilahirkanlah kurikulum 2013 pada sejumlah sekolah percontohan di seluruh Indonesia yang diterapkan pertama kali pada level 1, 4, 7, dan 10. Dengan dasar bahwa karakter dimulai dari spiritualitas maka alokasi pendidikan agaman yang menekankan budi pekerti diperbanyak. Kewirausahaan juga menjadi mata pelajaran wajib yang mewarnai untuk makin meng-eksplore kreatiftas dan keterampilan peserta didik. Penilaian juga bukan lagi menekankan secara kuantitatif saja yakni berdasarkan angka tetapi juga kualitatif berdasarkan huruf dan kalimat pernyataan pengamatan guru. Satu hal yang tidak teraplikasi dengan baik adalah teknisnya sama seperti kurikulum sebelumnya tetapi sekadar packaging nya saja yang berubah. Penerapan teknis tetapi kurikulum 2006 dan hanya pada laporan administratif menggunakan atribut kurikulum 2013.

Dengan demikian, bagi sekolah-sekolah yang sudah, masih, dan tidak sama sekali menerapkan kurikulum 2013 sebenarnya dapat dikembangkan secara lebih kreatif dan diintegrasikan kedua keunikan kurikulum tersebut secara bersamaan. Hal ini memang membutuhkan sumber daya guru yang mumpuni dan memiliki pengetahuan yang luas. Tentu ini adalah tuntutan wajib dimana seseorang berani menyebut dan disebut dirinya sebagai guru. Tidaklah heran jika di Finlandia sebagai salah satu sekolah percontohan dunia mewajibkan guru berpendidikan minimal bergelar master (S2). Berani menjadi guru berarti berani untuk diupgrade bukan saja karakternya tetapi juga pengetahuannya.

Mengembalikan pendidikan tradisional bukan berarti pendidikan konvensional

Penerapan kurikulum yang sebenarnya dijalankan dalam beberapa tahun terakhir ini adalah mengembalikan peran pendidikan masa lampau yang berperan sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Bagaimana tidak selama berpuluh-puluh tahun sebelumnya sistem pendidikan dipenuhi dengan kepentingan dan doktrinasi yang bersifat otoritatif. Berbeda dengan sekarang ini peserta didik diajak bereksplorasi dan menemukan pengetahuan secara mandiri. Pengetahuan menjadi milik sendiri dan bukan dari hasil pencekokan dan kepentingan orang tertentu. Kebebasan berpendapat membuat peserta didik memiliki hak mendiskusikan, mempertanyakan, dan mempertajam pengetahuan tersebut. Karakteristik inilah yang sebenarnya dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara secara tidak langsung dalam konsep taman siswanya. Bahkan jauh sebelum itu pun Kartini yang mengangkat peran perempuan dalam pendidikan telah memperlihatkan esensi pendidikan yang sebenarnya mencerahkan dan menjadi kerinduan masyarakat untuk dinikmatid dari segala lapisan masyarakat.

Paradigma guru sejatinya adalah seorang coach yang mampu membimbing peserta didik sebagai facilitator yang melahirkan para creator

Mungkin sebagian orang sudah melupakan semboyan pendidikan yang dicetuskan Ki Hajar Dewantara dan menjadi tagline pendidikan di Indonesia secara lengkap. Ki Hajar Dewantara menyebut 3 semboyan paling mendasar tentang peran seorang guru yakni:


  • Ing Ngarso Sungtulodo (di depan memberikan teladan)

  • Ing Madya Mangunkarso (dari tengah memberikan semangat)
  • Tut Wuri Handayani (di belakang mendorong)


Lebih banyak dari kita mungkin paling hafal dan tahu kalimat yang terakhir tetapi tidak memahaminya secara keseluruhan (holistik). Padahal dua kalimat sebelumnya juga sama pentingnya menjelaskan peran guru sebagai fasilitator pendidikan. Pemahaman yang keliru apabila guru hanya sekadar mentransfer ilmu dan selepas itu asyik dengan rokok dan kopinya. Pemahaman yang keliru pula apabila guru hanya mendorong peserta didik kerjakan tugas ini dan itu, menagih PR, mengerjakan ulangan, menyalin buku tetapi lupa memberikan semangat dan teladan. Untuk itulah adalah tepat bahwa guru bukan sekadar pengajar tetapi pendidik yang berperan secara menyeluruh dalam aspek diri peserta didik. Inilah yang disebut sebagai coach atau pembimbing dan pelatih. Guru bukan saja memiliki kompetensi tetapi jauh daripada itu adalah seorang yang memahami dan mempunyai passion bahwa dari seorang peserta didik yang tidak mampu apa-apa kemudian menjadi bisa bahkan melebihi kemampuan gurunya. Kepuasaan yang tak terelakan dalam ilustrasi guru kungfu dimana apabila muridnya mampu mengalahkan gurunya maka saat itu dia akan berhenti mengajar dan merelakan muridnya untuk siap ke medan laga. Demikian pula seorang guru dalam konteks pendidikan nasional dia bukan sekadar membuat peserta didik mampu secara kognitif tetapi juga menolong dirinya dalam aspek sosial, spiritual, dan keterampilan. Dengan demikian sebenarnya guruatau sekolah  bukanlah penyelenggara pendidikan tetapi justru peserta didik itu sendiri. Guru yang baik adalah guru yang mampu membimbing peserta didiknya menciptakan kurikulum bagi dirinya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun