Mohon tunggu...
Bro NuKe 누기쌤
Bro NuKe 누기쌤 Mohon Tunggu... Guru - "Jadilah Pemimpin yang Melahirkan Pemimpin Mandiri" - Youth Leader

👤 I'm just a disciple of Christ 💝 A sinner who gets God's forgiveness 😇 An ordinary person transformed by extraordinary grace and mercy

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Coaching, Pendidikan, dan Kurikulum 2013

13 Desember 2014   06:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:24 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Transisi kurikulum 2006 dan 2013 merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dan saling mempertajam tujuan pendidikan Indonesia

Kurikulum 2006 secara umum menekankan aspek pengetahuan yang holistik bukan saja mencakup kognitif tetapi juga sikap (afeksi), dan keterampilan fisik (psikomotorik). Penekanan pengetahuan yang disamaratakan secara nasional menuai sejumlah reaksi atas pemberlakuan kurikulum 2004 yang berbasiskan pada kompetensi peserta didik. Untuk itulah, lahirnya kurikulum 2006 yang menekankan pada keunikan masing-masing daerah dan sekolah memberikan angin segar bukan saja untuk peserta didik tetapi juga guru-guru. Tuntutan belajar dan keunikan setiap peserta didik menjadi perhatian utama sehingga bukan sekadar angka kelulusan dari sisi kognitif sebagai penentu utama kelulusan tetapi juga aspek sikap dan keterampilannya. Hal ini memang seperti dipaparkan oleh Howard Gardner bahwa kecerdasan seseorang tidak ditentukan dari satu sisi saja tetapi setidaknya ada 9 macam kecerdasan yang dapat dikembangkan.

Kurikulum 2013 adalah reaksi terhadap kurikulum 2006 dimana masih banyak peserta didik terlibat narkoba, kehidupan bebas, dan tawuran. Tingkat kriminalitas remaja dan anak sekolah yang makin meningkat menjadi keprihatinan negeri ini pada waktu itu bahkan sampai hari ini. Untuk itulah penekanan pada karakter menjadi perihal utama sebagai ide awal melahirkan kurikulum baru. Sempat muncul wacana kurikulum 2006 berbasis karakter tetapi kemudian dilahirkanlah kurikulum 2013 pada sejumlah sekolah percontohan di seluruh Indonesia yang diterapkan pertama kali pada level 1, 4, 7, dan 10. Dengan dasar bahwa karakter dimulai dari spiritualitas maka alokasi pendidikan agaman yang menekankan budi pekerti diperbanyak. Kewirausahaan juga menjadi mata pelajaran wajib yang mewarnai untuk makin meng-eksplore kreatiftas dan keterampilan peserta didik. Penilaian juga bukan lagi menekankan secara kuantitatif saja yakni berdasarkan angka tetapi juga kualitatif berdasarkan huruf dan kalimat pernyataan pengamatan guru. Satu hal yang tidak teraplikasi dengan baik adalah teknisnya sama seperti kurikulum sebelumnya tetapi sekadar packaging nya saja yang berubah. Penerapan teknis tetapi kurikulum 2006 dan hanya pada laporan administratif menggunakan atribut kurikulum 2013.

Dengan demikian, bagi sekolah-sekolah yang sudah, masih, dan tidak sama sekali menerapkan kurikulum 2013 sebenarnya dapat dikembangkan secara lebih kreatif dan diintegrasikan kedua keunikan kurikulum tersebut secara bersamaan. Hal ini memang membutuhkan sumber daya guru yang mumpuni dan memiliki pengetahuan yang luas. Tentu ini adalah tuntutan wajib dimana seseorang berani menyebut dan disebut dirinya sebagai guru. Tidaklah heran jika di Finlandia sebagai salah satu sekolah percontohan dunia mewajibkan guru berpendidikan minimal bergelar master (S2). Berani menjadi guru berarti berani untuk diupgrade bukan saja karakternya tetapi juga pengetahuannya.

Mengembalikan pendidikan tradisional bukan berarti pendidikan konvensional

Penerapan kurikulum yang sebenarnya dijalankan dalam beberapa tahun terakhir ini adalah mengembalikan peran pendidikan masa lampau yang berperan sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Bagaimana tidak selama berpuluh-puluh tahun sebelumnya sistem pendidikan dipenuhi dengan kepentingan dan doktrinasi yang bersifat otoritatif. Berbeda dengan sekarang ini peserta didik diajak bereksplorasi dan menemukan pengetahuan secara mandiri. Pengetahuan menjadi milik sendiri dan bukan dari hasil pencekokan dan kepentingan orang tertentu. Kebebasan berpendapat membuat peserta didik memiliki hak mendiskusikan, mempertanyakan, dan mempertajam pengetahuan tersebut. Karakteristik inilah yang sebenarnya dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara secara tidak langsung dalam konsep taman siswanya. Bahkan jauh sebelum itu pun Kartini yang mengangkat peran perempuan dalam pendidikan telah memperlihatkan esensi pendidikan yang sebenarnya mencerahkan dan menjadi kerinduan masyarakat untuk dinikmatid dari segala lapisan masyarakat.

Paradigma guru sejatinya adalah seorang coach yang mampu membimbing peserta didik sebagai facilitator yang melahirkan para creator

Mungkin sebagian orang sudah melupakan semboyan pendidikan yang dicetuskan Ki Hajar Dewantara dan menjadi tagline pendidikan di Indonesia secara lengkap. Ki Hajar Dewantara menyebut 3 semboyan paling mendasar tentang peran seorang guru yakni:


  • Ing Ngarso Sungtulodo (di depan memberikan teladan)

  • Ing Madya Mangunkarso (dari tengah memberikan semangat)
  • Tut Wuri Handayani (di belakang mendorong)


Lebih banyak dari kita mungkin paling hafal dan tahu kalimat yang terakhir tetapi tidak memahaminya secara keseluruhan (holistik). Padahal dua kalimat sebelumnya juga sama pentingnya menjelaskan peran guru sebagai fasilitator pendidikan. Pemahaman yang keliru apabila guru hanya sekadar mentransfer ilmu dan selepas itu asyik dengan rokok dan kopinya. Pemahaman yang keliru pula apabila guru hanya mendorong peserta didik kerjakan tugas ini dan itu, menagih PR, mengerjakan ulangan, menyalin buku tetapi lupa memberikan semangat dan teladan. Untuk itulah adalah tepat bahwa guru bukan sekadar pengajar tetapi pendidik yang berperan secara menyeluruh dalam aspek diri peserta didik. Inilah yang disebut sebagai coach atau pembimbing dan pelatih. Guru bukan saja memiliki kompetensi tetapi jauh daripada itu adalah seorang yang memahami dan mempunyai passion bahwa dari seorang peserta didik yang tidak mampu apa-apa kemudian menjadi bisa bahkan melebihi kemampuan gurunya. Kepuasaan yang tak terelakan dalam ilustrasi guru kungfu dimana apabila muridnya mampu mengalahkan gurunya maka saat itu dia akan berhenti mengajar dan merelakan muridnya untuk siap ke medan laga. Demikian pula seorang guru dalam konteks pendidikan nasional dia bukan sekadar membuat peserta didik mampu secara kognitif tetapi juga menolong dirinya dalam aspek sosial, spiritual, dan keterampilan. Dengan demikian sebenarnya guruatau sekolah  bukanlah penyelenggara pendidikan tetapi justru peserta didik itu sendiri. Guru yang baik adalah guru yang mampu membimbing peserta didiknya menciptakan kurikulum bagi dirinya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun