Mohon tunggu...
NUKE RACHMA GUNARNI
NUKE RACHMA GUNARNI Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWI FISIP UIN WALISONGO SEMARANG ANGKATAN 2021

Hobi saya adalah menyanyi dan menulis baik dalam bentuk berita, cerpen, jurnal maupun essai

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pandangan Islam Tentang Radikalisme Agama

12 September 2023   20:35 Diperbarui: 12 September 2023   21:24 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Isu 'radikalisme' akhir-akhir ini semakin ramai diperbincangkan di berbagai media cetak dan elektronik, tentunya mencapai proporsi yang mengkhawatirkan. Radikalisme bukanlah permasalahan baru. Tak kalah menariknya yaitu penggunaan istilah ''radikal'' yang selalu disinonimkan dengan kelompok agama tertentu, yakni Islam. Oleh karena itu, saat ini sebagian orang menganggap hal ini secara apriori dan sampai pada kesimpulan bahwa ''Islam itu radikal''.

Dahulu kala dalam sejarah agama Islam, terjadi aksi radikal di bawah kepemimpinan kelompok Khawarij. Mereka mengambil tindakan ini karena ketidakpuasan terhadap pemimpin saat itu. Dengan cara tersebut, mereka meringankan kekecewaan akibat kekerasan. Simpulnya, secara historis terdapat jejak radikalime -- dalam arti pemberontakan -- dalam konteks global maupun nasional.

Dilansir dari jurnal Addin ''Islam dan Radikalisme: Telaah atas Ayat-Ayat ''Kekerasan'' dalam Al-Qur'an'' karya Dede Rodin, Tidak ada kesepakatan di antara para ahli tentang bagaimana menggambarkan gerakan radikal, yang kemudian memunculkan banyak istilah termasuk Neo-Khawarij, Khawarij abad ke-20, Islam radikal (Emmanuel Sivan), dan fundamentalisme. Fazlur Rahman menyebutnya sebagai gerakan neo-revivalisme atau neo-fundamentalisme untuk membedakan antara gerakan modern klasik dengan fundamentalis postmodern sebagai gerakan anti-Barat.

Istilah radikalisme dinilai lebih tepat dibandingkan fundamentalisme dan istilah lainnya karena fundamentalisme sendiri memiliki banyak penafsiran. Dari sudut pandang Barat, fundamentalisme berarti masyarakat yang kaku dan ekstremis serta tidak takut menggunakan kekerasan untuk mempertahankan ideologinya. Sementara itu, dalam pemikiran keagamaan-teologis, istilah fundamentalisme lebih mengacu pada gerakan yang bertujuan memulihkan seluruh perilaku umat Islam dengan mengacu pada Al-Qur'an dan Hadits.

Menurut Azyumardi Azra, radikalisme merupakan bentuk ekstrem dari revivalisme. Revivalisme ialah intensifikasi Islam yang lebih berorientasi ke dalam (inward oriented), artinya penerapan keimanan hanya diterapkan pada dirinya sendiri.

Dalam buku ''Konsep al-Wasathiyyah dalam Islam'' dalam Harmoni: Jurnal Multikultural dan Multireligius dari M. Hanafi Muchlis -- Dalam Bahasa Arab, terdapat beberapa istilah kekerasan dan radikalisme, di antaranya al-'unf, at-tatarruf, al-guluww, dan al-irhab. Al-'unf adalah antonim dari ar-rifq yang berarti lemah lembut dan kasih sayang. Abdullah an-Najjar mendefinisikan al-'unf sebagai penggunaan kekuatan yang tidak sah (main hakim sendiri) untuk memaksakan kehendak dan pendapat seseorang. Kata at-tatarruf secara bahasa berasal dari kata at-tarf yang mengandung arti ''ujung atau pinggir''. Artinya, letaknya di ujung atau pinggir, kiri atau kanan. Oleh karena itu, dalam bahasa Arab modern, kata at-tatarruf mempunyai konotasi yang radikal, ekstrim dan berlebihan. Dengan demikian at-tatarruf ad-dini menunjukkan segala perbuatan berlebihan dalam agama, yang merupakan kebalikan dari al-wasat (tengah/moderat), artinya baik dan terpuji. Kata al-guluww, yang secara bahasa berarti ''berlebihan atau di luar batas'', sering digunakan untuk menunjukkan praktik keagamaan ekstrim yang melampaui batas akal. Al-Qur'an mengecam keras sikap ahli kitab yang terlalu berlebihan dalam beragama, sebagaimana firman Allah dalam Q.S An-Nisa' [4]:171 dan Q.S Al-Maidah [5]:77.

Sikap berlebihan inilah yang kemudian berujung pada terganggunya tatanan kehidupan umat terdahulu sebagaimana disabdakan Nabi SAW : "Wahai manusia, jauhilah sikap berlebihan (al-guluww) dalam beragama. Sesungguhnya sikap berlebihan dalam beragama telah membinasakan umat sebelum kalian." (H.R. Ibnu Majah dan an-Nasa'i). Sabda Nabi muncul dalam peristiwa Haji Wada. Saat itulah, Nabi Saw meminta kepada Ibnu 'Abbas pada pagi hari jumrah 'aqabah agar mengambil beberapa kerikil dan melempar jumrah ke Mina. Ketika Ibnu Abbas mengambil kerikil sebesar kerikil ketapel, beliau berkata: ''Dengan kerikil-kerikil semacam inilah hendaknya kalian melempar''. Kemudian beliau berkata seperti pada hadits di atas. Dalam hadits lain Abdullah bin Mas'ud, Nabi Saw bersabda: ''Celakalah orang-orang yang melampaui batas (al-mutanatti'un)" (H.R. Muslim). Kata ini diulang tiga kali untuk menunjukkan bahwa Nabi sangat tidak suka dengan masyarakatnya yang menganut agama secara berlebihan, baik ekstrem kiri maupun kanan. Melainkan ingin mengajarkan sikap beragama yang moderat dan menghindari sikap guluww (radikal) dalam persoalan agama.

Relevansi Tindakan Radikalisme Dalam Kehidupan

Fenomena radikalisme yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, bukan muncul begitu saja. Sangat tidak masuk akal jika suatu perjanjian atau aliran muncul tiba-tiba tanpa memberikan alasan. Aksi yang dihasilkan pasti disebabkan oleh reaksi dan sebaliknya. Radikalisme sebagai suatu tindakan bertumpu pada respons terhadap suatu hal yang tentunya sangat serius dan mengandung unsur kekerasan. Paling tidak, para ahli berpendapat bahwa radikalisme muncul dari kondisis yang kurang menguntungkan bagi sebagian kelompok. Sejarah kekerasan dan radikalisme sering disebut dengan agama. Hal ini dapat dijelaskan dengan fakta bahwa agama memiliki kekuatan yang sangat besar, melebihi kekuatan politik, sosial dan budaya. Agama juga bisa diangkat sampai ke tingkat supranatural. Oleh karena itu, atas nama agama, radikalisme dilegalkan dalam berbagai aktivitas. Mulai dari ketidaksetiaan (takfir) terhadap orang yang berbeda pendapat hingga membunuh musuh yang tidak seideologi. Banyak faktor yang menjadi penyebab tumbuh dan berkembangnya gerakan radikal yang mengatasnamakan agama. Salah satunya, menurut Fealy dan Hooker, yaitu dampak terbukanya kran demokratisasi pasca reformasi. Menurut Huntington, penyebab utama konflik saat ini bukanlah budaya, ideologi, atau ekonomi. Meski faktor yang menyebabkan munculnya radikalisme agama sangat kompleks dan beragam, seperti yang dikemukakan John L. Esposito, perang dan kekerasan agama selalu bersumber dari keyakinan manusia. Menurut Yusuf al-Qaradhawi, faktor utama munculnya radikalisme dalam agama adalah kurangnya pemahaman yang benar dan menyeluruh terhadap hakikat ajaran agama Islam itu sendiri dan pemahaman literalistik terhadap teks agama. 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun