"Maksud Anda apa? Jelas anakku masih single, ia masih sekolah. Apa urusan Anda menanyakan itu?" Nada bicara Papa meninggi. Orang-orang di sekitar mulai tampak menyimak keributan itu. Sedangkan kami, tidak ada perasaan lain yang meliputiku dan Mama selain rasa malu.
"Maaf, aku hanya tertarik pada putrimu. Bolehkah aku meminangnya?"
"Dasar bule sinting! Hah, ayo, kita pergi!"
Papa langsung memegang tanganku lalu seperti menyeretku keluar dari foodcourt. Sedangkan Mama terlihat tergopoh-gopoh mengikuti kami di belakang.
Terakhir, ketika aku pertama kali jatuh cinta pada seorang lelaki pada usia tujuh belas. Ia teman sekolahku, dan kami telah akrab sejak kelas satu. Suatu sore, kali pertama ia berani datang ke rumah. Semuanya berjalan normal, hingga temanku itu pulang dan Papa mulai berkomentar.
"Nad, itu teman atau pacarmu? Kok mukanya gitu?"
"Teman, Pa," ujarku berbohong. "Emang gitu gimana, Pa?" Aku mulai down.
"Lumayan ganteng, sih, tapi mukanya mirip mister Bean, bloon dan mesum! Kamu jangan terlalu dekat lah. Firasat Papa nggak bagus."
Ah, entahlah aku harus tertawa atau marah mendengarnya. Papa memang terlalu sayang padaku, walau caranya ....
~Tgr 040223
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H