Aku ingin bercerita tentang Papa. Kata Mama, papaku seorang patriarkat sejati. Papa mana mau tahu urusan pekerjaan rumah sudah selesai atau belum. Ia tahunya beres saja. Setiap pagi berangkat kerja lalu pulang sore hari, rumah harus selalu rapi, makanan sudah tersedia, dan tidur nyenyak. Kata Mama, Papa juga keras kepala jika sudah berargumen, tidak bisa didebat. Mama sering dibuatnya menangis karena kesal dengan sikap suaminya yang tak acuh. Mungkin, hingga akhir hayatnya Mama mengenang Papa sebagai suami yang arogan.
Namun, aku mengenang Papa sebagai pelindungku. Setidaknya hingga Papa tiada di saat umurku delapan belas, ia selalu membersamaiku dengan tegas. Aku tetap menikmati uang yang selalu Papa beri meski banyak aturan ini itu yang disampaikan dengan nada keras. Pernah aku menyalahkan Mama yang tidak pernah menyuruhku belajar atau tidak peduli ketika aku pergi dengan siapa. Saat aku protes, kata Mama itu semua adalah tugas Papa.
Pernah, ketika aku umur empat belas, guru magang di sekolahku datang ke rumah. Ia mengajakku keluar dengan dalih ada kegiatan ekstra di sekolah. Tentu saja guru magangku itu pria dan di sekolah tugasnya membantu mengajar olahraga. Sepertinya guruku itu menaruh hati padaku, sebab hanya aku muridnya yang mendapat perlakuan istimewa seperti itu. Aku tapi tidak begitu mempedulikannya. Saat itu papaku baru saja pulang kantor. Ketika aku ke kamarnya hendak meminta izin, Papa langsung melancarkan tuduhannya. Â
"Kamu pacaran, ya, sama gurumu?"
Aku menggeleng pelan dengan tatapan bingung, tapi Papa langsung menghardikku. "Kamu itu masih SMP, masih kecil, mau-maunya dipacari sama gurumu. Belum waktunya kamu punya pacar. Apalagi dengan lelaki sedewasa itu. Kamu tahu binatang beruk?" Lagi-lagi aku menggeleng. "Beruk itu sejenis monyet, tapi badannya lebih besar. Jika anak-anak seumurmu itu biasanya punya cinta monyet karena pacaran sama teman sekelasnya, ini kamu lebih, cintamu itu cinta beruk! Mau kamu pacaran sama beruk, hah?"
Wajahku mulai memanas, air mataku siap meluncur mendengar segala yang dituduhkan Papa. Tapi aku hanya diam. Aku juga melihat Mama hanya bergeming di meja makan, entah ia sedang melakukan apa ketika Papa berjalan tergesa-gesa menuju teras.
"Kamu gurunya Nadia? Ada urusan apa memangnya sampai datang kemari dan mengajak anakku pergi? Kamu pikir anakku tidak bisa pergi sendiri, ya?" Papa mencecar guru magangku itu hingga ia tak sempat menjawab. Aku tidak berani keluar. Dari dalam aku juga tidak mendengar percakapan mereka yang berarti. Hanya samar-samar suara guruku berkata lalu setelahnya suara motor menderu meninggalkan rumah. Aku akhirnya batal pergi. Â
Kali lain, pada suatu malam yang cerah kami bertiga pergi ke sebuah mal. Setibanya di sana kami langsung menuju food court dan mulai memesan makanan. Suasana food court cukup ramai, mengingat saat itu adalah malam minggu. Sambil menunggu makanan datang, Papa dan Mama ngobrol sekedarnya dan sesekali aku ikut nimbrung menimpali. Cukup hangat suasana hati kami saat itu, hingga akhirnya makanan datang dan ada satu pengunjung di meja sebelah kami berani mengusik Papa. Ia pria bertampang bule. Entah mungkin ia ekspatriat yang sudah lama tinggal di Jakarta atau mungkin memang blasteran, yang jelas ia menyapa Papa menggunakan bahasa Indonesia yang fasih.
"Selamat malam, Pak. Cincinnya bagus juga, apakah itu batu Topaz?" tanyanya sambil menunjuk cincin batu berwarna hijau yang tersemat di jari manis Papa. Papa terlihat terkejut, tapi ia cepat menguasai keadaan.
"Oh, iya," jawab Papa sambil menganggukkan kepala. Papa tampak tidak peduli padanya, ia tetap melanjutkan makan. Si pria bule yang di mejanya hanya ada segelas es cocktail lalu berkata lagi. "Maaf, itu putrimu? Cantik juga. Apakah ia masih single?" tanyanya sambil melirik ke arahku. Aku tersedak karena terkejut mendengar pertanyaan pria bule itu. Lebih-lebih Papa. Papa langsung menghentikan makannya dan terlihat emosi.