Aku bekerja di sebuah apotek yang cukup besar di kotaku. Persediaan obatnya bisa dibilang dua kali lebih lengkap daripada persediaan apotek-apotek lain di sekitar. Oleh sebab itu, pasien dokter yang praktik di ruko sebelah hampir semuanya menebus obat di sini. Kata mereka, selain kelengkapan obat, pelayanan yang ramah dari kami adalah hal yang paling mereka suka. Akan tetapi, kalau kata lelaki sepertiku, ya, karena apotek ini mempunyai seorang apoteker yang cantik.
Hal lain yang menarik dari apotekerku---selain orangnya baik dan perhatian kepada para asistennya---senyumnya itu, lho, selalu membuat jantungku berdegup keras apabila mata kami saling bersitatap. Ia juga piawai memadupadankan apa-apa yang menutup kepalanya hingga apa-apa yang mengalasi kakinya; jauh dari kesan norak dan enak dilihat. Tentu saja hal itu bikin aku betah bekerja dengannya.
Seperti sekarang, ia memakai jilbab biru langit motif bunga sakura warna merah jambu yang lembut dipadu dengan blus warna putih, dan rok model A line warna biru laut. Sedangkan sepatunya ... ah, aku tadi lupa ia memakai sepatu warna apa dari rumah.
Malam ini kami mendapat giliran jaga bersama. Seperti biasa, pelanggan terlihat keluar masuk apotek antre menebus obat. Kadang aku berpikir, pekerjaanku ini sebetulnya mengupayakan agar mereka sembuh atau malah sebaliknya, sih? Jika aku mendoakan orang-orang itu selalu sakit, ah, betapa jahatnya fungsi sebuah apotek: tak lebih dari sebuah toko yang menjual racun! Tapi, kalau mereka semua sembuh, itu artinya kami tidak punya pemasukan, dong? Bisa-bisa nanti gantian kami yang sakit karena kurang duit.
Astaga... kenapa aku jadi ngelantur. Pasti gara-gara aku sering mencuri pandang ke arah si cantik yang sedang duduk anggun di belakang meja apoteker itu. Ya Tuhan, sejak awal bertemu aku memang selalu tergila-gila padanya.
"Gus, kamu belum makan malam. Jangan sampai tidak, lho! Atau kamu ingin lambungmu kumat lagi?"
Aku melirik jam dinding yang berada di atasnya. Sudah jam setengah delapan. Pantas saja perutku rasanya mulai sebah.
"Ya, sebentar lagi. Kan tadi sore aku sudah makan kue yang kamu bawakan," jawabku sambil memberi uang kembalian kepada pelanggan. Pelangganku itu terlihat senyum-senyum sambil bergantian memandang ke arah kami.
"Seneng, ya, Pak, punya bos perhatian," celetuknya.
"O, iya, dia harus perhatian sama saya. Kalau enggak, nanti malam nggak saya kasih jatah," kataku sekenanya.
"Oalah, jadi kalian ini suami istri to!"