Tangis Ibu tumpah begitu melihatku di depan pintu kamarnya. Ia langsung menghambur dan memelukku erat. Aku terpaku dengan rasa penasaran sejak semalam menempuh perjalanan Solo-Jakarta. Ketika Ibu meneleponku, dengan nada gawat ia memintaku segera pulang: ada hal penting, katanya. Entah apa, sekarang tanda tanya itu semakin membuncah.
"Kenapa, Bu?" Kuurai pelukannya sambil menatap matanya mencari sekelebat jawaban. Tapi nihil, Ibu masih memejam berurai air mata.
"Ayahmu, Nin, ayahmu! Kemarin satu kompi tentara datang ke sini lalu menyeretnya tanpa ampun! Sekarang mereka telah membawa ayahmu!" Suara Ibu histeris, lalu tangisnya membanjir lagi.
Aku semakin linglung. Tentara? Satu kompi, membawa Ayah pergi? Tapi buat apa? Ayahku kenapa? Sejak dulu aku ingusan belum pernah melihat pekerjaan ayahku berurusan dengan tentara. Ayahku adalah seorang sipil. Sekarang buat apa?
"Bu, tolong tenang dulu. Kalau sudah, ceritakan kejadiannya secara urut sama Nina, ya," pintaku sambil menuntunnya duduk di bangku sebelah ranjangnya. Kuusap-usap punggung perempuan kebanggaanku itu. Belum pernah aku melihatnya menangis lagi sehebat ini setelah kejadian tiga tahun lalu ayahku menikahi seorang perempuan yang tak jelas keluarganya. Entah mereka berjumpa di salah satu sudut jalan mana.
Begitulah, ayahku punya sejarah kelam terkait wanita lain. Ia seperti maniak menyakiti Ibu dengan berselingkuh. Tapi Ibu selalu punya hati memaafkannya. Si bangsat itu memang punya wajah tampan. Badannya tegap; tinggi-besar, cocok dengan perawakan seorang aparat. Ya, Tuhan, jika tak ingat dosa, ingin rasanya kupotong kelamin ayahku itu. Selalu dengan kejadian yang sama ia menyakiti Ibu. Lagi dan lagi.
"Ibu kaget dan takut banget waktu kemarin sore tentara-tentara itu turun dari truk seperti hendak menyerbu markas penjahat. Kata mereka ayahmu menghamili anak perwira tentara atasannya. Ibu nggak nyangka kelakuan ayahmu semakin tua semakin bejat, Nin!"
Gigiku bergemeletuk kaku, dalam hatiku menjerit, ya Tuhan! Tak sadarkah Ayah jika ia mempunyai seorang anak gadis?
sumber gambar: Pinterest
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H