Mohon tunggu...
Nadine Putri
Nadine Putri Mohon Tunggu... Lainnya - an alter ego

-Farmasis yang antusias pada dunia literasi dan anak-anak. Penulis buku novela anak Penjaga Pohon Mangga Pak Nurdin (LovRinz 2022).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nisa, Moko, dan Kopi Sialan!

10 Juli 2021   17:00 Diperbarui: 10 Juli 2021   17:57 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pintu depan rumah bercat hijau pupus di samping pos kamling itu baru saja dibuka. Sesaat kemudian dari dalam rumah terdengar suara orang saling memaki. Tetangga kanan-kirinya sudah biasa dan maklum. Kadang pagi, kadang sore, tak jarang pula tengah malam, jika mereka ribut maka siap-siap saja para tetangga menjadi saksi hidup atas apa yang terjadi di antara penghuni yang hanya berisi sepasang muda itu. Bagi mereka, mendengar Nisa meneriaki suaminya—sejak mereka datang dari Semarang empat bulan yang lalu—membawa suasana tersendiri. Ya, suasana berisik!

Nisa berada di dapur ketika hendak mengambil sapu dan membersihkan rumah. Secara tak sengaja dia melihat bekas bungkus kopi beberapa saset di keranjang sampah. Tanpa pikir panjang Nisa mulai menyanyikan lagu cadas yang khusus dia teriakkan untuk Moko jika tahu suaminya itu menyeduh kopi. Dari jumlah bungkusnya, malam tadi Moko ngopi sebanyak lima kali. Lelaki acuh itu masih mengenakan kaus yang sama ketika dia duduk di depan layar komputernya. Ya, Moko si penulis yang gila kerja itu sama sekali belum tidur sejak kemarin. 

Wajar jika Nisa terus-terusan mengomel, sebab jika sakit lambung Moko kumat—seperti kejadian dua minggu yang lalu—maka Nisa pula yang kerepotan sebab Moko akan mengejang sambil memegang perutnya dan tak henti-hentinya merintih kesakitan. Puncaknya, Moko pingsan di depan kamar mandi. Dan Nisa tak mau hal itu terjadi lagi.

"Mas, mbok tobat, to! Mau sampai kapan kamu terus-terusan minum kopi? Lambungmu itu lho, pikirin! Apa kamu nunggu lambungmu bocor, mulutmu biru, terus berbusa, baru kamu berhenti?!" teriak Nisa sambil membersihkan sedikit tumpahan kopi dan gula yang berceceran di atas meja samping dispenser. 

 Istri mana yang tak muak melihat kebiasaan suami yang seharusnya bisa dicegah, tetapi ia malah bandel dan acuh dengan kesehatannya sendiri. Nisa sendiri sudah berusaha mengawasi dengan ketat barang-barang apa saja yang dibeli ketika mereka belanja bulanan. Namun, Moko juga tak kehabisan akal dan tak serta merta berubah menjadi penurut ketika sesuatu yang telah membuatnya candu itu dilarang secara tiba-tiba. Diam-diam dia membeli sendiri berbungkus-bungkus kopi dan menyimpannya rapi di dalam laci meja komputer.

"Santai Nisa, Sayang … aku bisa atasi sendiri, kok. Kalo misal nanti perutku sakit, aku udah tau obatnya," ucap Moko santai—sesantai uang belanja yang dia berikan kepada istri yang baru setahun dinikahinya itu—sambil matanya tak lepas dari layar komputer.

"Santai, santai, gundulmu!" bentak Nisa sambil menyapu ruang tengah. "Nyatanya aku juga yang repot, Mas. Ayolah, sayangi dirimu sendiri. Aku sebenarnya eman banget sama kamu, Mas, tapi kalo kamu sendiri cuek, aku bisa apa? Toh, misalnya kamu nanti mati pun, aku akan dengan mudah mencari gantimu," ucap Nisa sambil melirik Moko yang terlihat dari bahasa tubuhnya mulai resah mendengar perkataan perempuan dua enam tahun itu. 

"Oh, jadi begitu niatmu, ya? Baiklah. Kenapa nggak sekalian kamu awur-awurin racun tikus aja ke gelasku? Kan, kamu jadi nggak perlu nunggu waktu lama untuk ganti suami," balas Moko, kali ini matanya memandang tajam ke arah Nisa yang masih asyik menyapu dengan cepat. 

"Oalaah … dasar bojo gemblung! Digatekke nggenah kok malah nantang 'kon ngeracun! (Dasar suami gila! Diperhatiin beneran kok malah nantang nyuruh ngeracun!) Terserahlah, Mas, lama-lama aku capek ngasih tahu kamu. Badanmu berat, Mas. Aku nggak sanggup nyeret kamu dari kamar mandi ke kamar. Aku harap ini yang terakhir, ya, kamu ngopi. Kalo sampai kamu bandel dan kumat lagi sakitnya, aku beneran pergi. Sekarang silakan pilih, aku atau kopi sialanmu itu!" [*]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun