oppa, aku tak tahu kenapa tiba-tiba mataku memanas. Aku tidak dapat menahan lelean bening ini keluar dari mataku. Saat ini aku mengingatmu begitu banyak. Bahkan seperti terngiang saat kau menyanyikan lagu utukku. Masih kuingat suara khasmu. Semua kenangan itu menyeruak mekasa keluar. Pertahananku runtuh seketika. Aku tak dapat membendungnya lagi. Hanya bisa membiarkan semua keuar. Tak terkendali.
Oppa, apakah terkadang kau juga mengingatku? Walau tak sebanyak aku yang mengingatmu. Oppa, apakah ini rindu? Apa yang harus kulakukan? Aku masih sulit melupakamu. Aku masih memeluk kenangan itu dengan erat. Menyimpannya di tempat terbaik. Namun tak pernah terhapus oleh waktu. Bertahun-tahun masih tersimpan rapi. Terammat rapi hingga aku begitu hafal dengan detail.
Oppa, aku tau seharusnya aku berhenti. Berhenti mengingat, berhenti berharap, berhenti memikirkan, berhenti mencintaimu. Yang paling penting seharusnya aku berhenti memegang janjimu, menemuiku, menjemputku. Karena aku dan kamu bukan lagi “kita” yang dulu.
Oppa, sekeras apapun aku berusaha mengisi hatiku dengan orang lain, taka da yang bisa menggantikanmu di posisi itu. secara tak sadar aku sering membandingkannya denganmu. Selalu standarnya kamu. Aku, aku tak bisa berpikir jernih lagi. Memang taka da yang sepertimu. Aku bingung sendiri, aku tak tahu lagi harus bagaimana. Apa yang harus kulakukan? Keinginan untuk bertemu denganmu saja sepertinya tak akan pernah terpenuhi. Bahkan bicara denganmu saja sulit, kamu tak pernah lagi menghubungiku. Bahkan sekedar memberi kabar.
oppa, aku rindu. Sangat merindukanmu. L
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H