Mohon tunggu...
Nugroho Semarang
Nugroho Semarang Mohon Tunggu... -

Penyuka dunia Sejarah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Yang Melebihi Plagiat Anggito Abimanyu - Bagaimana Julius Pour Menjiplak Memoar Jenderal Hario Kecik?

1 Maret 2014   23:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:20 1568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mudah-mudahan Universitas Gadjah Mada dapat memberi semangat kepada pemuda, laki-laki dan perempuan, jang beladjar disini, supaja dari peladjar-peladjar ini nanti bangsa kita memperoleh bibit dan tjalon pemimpin jang bertjita-tjita, jang dengan pengetahuan jang mendjadi pembawaan dirinja dapat menjesuaikan praktik politik dan filsafat hidup sehari-hari dengan tjita-tjita besar jang mendjadi ideologi Negara.”

(  Dari “Lampau dan Datang”, pidato Mohammad Hatta saat menerima gelar doctor honoris                                     causa dari Universitas Gadjah Mada, 27 November 1956.)

Berikut ini nanti adalah perbandingan tulisan dari buku “Pertempuran Surabaya November 1945” karya Des Alwi / Julius Pour (terbitan BIP tahun 2011), dengan tulisan Mayjen (Purn.) Suhario Padmodiwirio  dalam Memoar pertamanya (terbitan Yayasan Obor Indonesia tahun 1995).

Des Alwi berseberangan dengan pemerintah resmi RI di bawah Presiden Soekarno, sedangkan Jenderal Hario sebagai pejuang independen kemerdekaan RI berkukuh tidak mengkhianati Bung Karno. Jika Julius Pour –konon didikan UGM- menulis hagiografi yang  menyetarakan Benny Moerdani nyaris menjadi santo, maka Jenderal Hario dipenjarakan  Orde Baru antara tahun 1977 hingga 1981, (tentu saja) tanpa pengadilan, dengan bonus state violence (rumah dirampas, keluarga diusir dari rumah dinas, dan segenap kesulitan sosial, perdata, dan mata pencaharian untuknya sekeluarga) tanpa ada tanda berhenti hingga kini.Pada tahun 2014 satu-satunya perwira tinggi TNI yang lulus sekaligus dari Fort Benning, AS (1958) dan Suvorov General Staff Academy, Moskow (1968) ini berusia 93 tahun dan terus bekerja keras menulis buku Pemikiran Militernya yang sudah sampai pada buku ke-9.

Des Alwi mati meninggalkan catatan-catatan yang lalu ditata Julius Pour  menjadi buku Pertempuran Surabaya. Dan terhadap Hario Kecik yang masih terus ditindas oleh state violence itu Julius Pour dengan suntingannya melakukan symbolic violence. Paparan di bawah ini adalah positioning paper terhadap double violence di balik kesadaran personal Julius Pour itu, yang berjarak begitu jauh dari statement Moh. Hatta di atas.

1 Maret 2014

BoSS (Battle of Surabaya Studies)

NB

Positioning Paper ini merupakan langkah ketiga yang dilakukan, setelah BoSS menerbitkan ulang petikan Memoar Hario Kecik lewat buku Pertempuran Surabaya (2012), serta produksi film dokumenter “Menjelang Pertempuran November” (2013)yang bisa disaksikan melalui jalur Youtube. Baik petikan memoar maupun film dokumenter itu adalah tanggapan produktif BoSS atas terbitnya buku Des Alwi/Julius Pour tahun sebelumnya.

Tembusan Kepada :

1.Museum Tugu Pahlawan Surabaya

2.Komandan Lanuma Iswahyudi, Madiun

3.Penerbit Yayasan Obor Indonesia

4.Penerbit LKiS, Yogyakarta

5.Mendiang Sukarjo Wilarjito, Yogyakarta

6.Romo Dr. Baskara Tri Wardaya, SJ, USD Yogyakarta

7.Sdr. Ashadi Siregar, FISIPOL UGM

8.Dr. Emmanuel Subangun, Gunung Kidul

9.Dr. Daniel Dhakidae, Jurnal PRISMA

10.Dr. Anhar Gonggong, Jurusan Sejarah, FIB, UI.

11.Dr. Asvi Warman Adam, LIPI

12.Sdr. Slamet Rahardjo Jarot dan Sdr Eros Jarot, Jakarta

13.Bung Bambang Isti Nugroho, Pusdok Guntur 49, Jakarta

14.Sdr. Hilmar Farid, JKB  Jakarta

15.Sdr. Ignatius Haryanto,LSPP Jakarta

16.Sdr. Rumekso Setyadi, Yogyakarta

17.Dr. Palmos, Australia

18.Dr. Masaaki Okamoto, CSEAS Kyoto University

19.Jurnal INDONESIA, Cornell University

20.Jurnal ARCHIPEL, Paris

21.Jurnal BKITLV, Belanda.

dan …… Anggito Abimanyu, beserta sejawatnya para  plagiat di Indonesia.

MODUS OPERANDI I

DES ALWI / JULIUS POUR MELENYAPKAN HARIO KECIK

DARI PENGALAMAN HARIO KECIK ITU SENDIRI

Metode :

1.Kalimat-kalimat dari memoar Hario Kecik di-copy-paste, lalu permak seperlunya, dan TANPA menyebutkan bahwa tulisan dalam teks Des Alwi / Julius Pour itu adalah kutipan.

2.Jika perlu, ganti posisi Hario Kecik sebagai pelaku peristiwa dengan dirinya sendiri (lihat di bawah,  Des Alwi ”memberikan pistol ke Wahab”). Ajaibnya, katakanlah yang diberikan ke Wahab itu bukan cuma pistol tetapi meriam atau malah bom atom sekalian, tetaplah pokok  kalimat yang dipakai oleh Des Alwi / Julius Pour adalah kalimat dari teks Hario Kecik !

3.Dan titik kulminasi symbolic violence tercapai ketika Hario Kecik dilenyapkan dari cerita pengalaman-nya sendiri dalam teks Des Alwi / Julius Pour, sebagaimana terjadi pada bagian cerita tentang Jombang.

A. Perbandingan tulisan  tentang  Wahab

WAHAB :  Teks Des Alwi/Julius Purwanto (2011. Hlm. 200)

Menjelang pertempuran aku (Des Alwi) masih sempat mengunjungi Abdoel Wahab di Rumah Sakit Simpang serta Satrio Keriting yang patah kakinya akibat kecelakaan pada saat mereka melakukan patroli di pelabuhan. Wahab minta sepucuk pistol sambil mengatakan, “Tidak peduli yang mana, aku akan menembak Belanda, NICA, atau Inggris, jika mereka masuk ke dalam rumah sakit. Lebih baik aku ber-jibaku daripada harus menyerah.

Berdasar pertimbangan psikologis, aku (Des Alwi) segera memberikan sepucuk  Colt automatic kaliber 32 yang kondisinya masih bagus. Pistol tersebut diterima Wahab dengan penuh semangat. Tidak usah diragukan, dia pasti akan menjalankan niatnya tersebut jika apa yang sudah dia bayangkan, menjadi kenyataan. Sementara itu, Satrio Keriting sangat menyesal, celana panjangnya terpaksa harus digunting untuk mengeluarkan kakinya yang patah akibat tembakan. Sebagaimana Wahab, Satrio juga tidak mau berpisah dengan pistolnya.

WAHAB : Teks Hario Kecik (1995, hlm. 152-153)

Malam itu saya  (Hario Kecik) mengunjungi Abdul Wahab di Rumah Sakit Umum Simpang dan Satrio ‘Kriting’ yang kakinya patah dalam kecelakaan waktu patroli di pelabuhan Ujung. Wahab meminta magasen ekstra untuk pistolnya yang diam-diam tetap tersimpan di bawah bantalnya. Ia dengan tenang mengatakan akan menembak setiap Belanda atau Inggris yang masuk ke rumah sakit.

Lebih baik jibaku daripada menyerah!” kata Wahab ‘Deglok’.

Saya (Hario Kecik)  yakin bahwa ia akan melaksanakan niatnya jika memang yang dibayangkan terjadi. Satrio ‘Kriting’ tampak menyesali sepatu boot-nya yang terpaksa harus digunting agar kakinya yang patah bisa dikeluarkan dengan aman. Ia juga tidak mau berpisah dengan pistolnya.

B.Perbandingan tulisan  tentang Jombang

1.a. JOMBANG 1 :  Teks Des Alwi/Julius Purwanto (2011. Hlm. 164)

Sebagaimana telah diuraikan di depan, surat Iwabe berada di tangan Hasanoedin, setelah dirampas dari anggota Kempetai yang masih bertahan di sayap kiri markas mereka, di Jalan Raya Ketabang. Selain tahu mengenai keampuhan surat tersebut, Hasanoedin kemudian mempunyai gagasan untuk memanfaatkan surat tersebut dalam rangka kepentingan lebih luas. Sesudah dirundingkan dalam rapat staf, dicapai keputusan  bahwa dia harus ke Djombang, untuk membantu para pemuda di sana yang sedang menghadapi kesulitan dengan masalah perlucutan senjata dari satu detasemen tentara Jepang setempat. Detasemen tersebut menjaga objek militer kioteng atau basis perbekalan dan persenjataan, di luar kota. Maka secara berkonvoi, dua sedan dan tiga truk pasukan segera bergerak menuju Djombang, bertemu dengan massa pemuda harus menunggu di suatu tempat.

1.b. JOMBANG 1 : Teks Hario Kecik (1995, hlm. 137-138)

Telah diuraikan di atas bahwa surat Iwabe memungkinkan pemindahan pasukan Kempei Tai dari markas besarnya di Pasar Besar, KE komplek Pasar Malam di Jalan Raya Ketabang. Kami memutuskan untuk memanfaatkan surat itu dalam rangka yang lebih luas.

Para pemuda di Jombang mendapat kesulitan dengan perlucutan suatu detasemen tentara Jepang. Detasemen ini menjaga sebuah obyek […] kami putuskan untuk membantu para pemuda Jombang. Jika tindakan kami berhasil, […]Hasanuddin dan saya sendiri yang akan memimpin operasi penting tersebut. Konvoi kami terdiri atas 3 truk yang berisi 2 regu bersenjata lengkap di setiap kendaraan dan 2 buah sedan.

Catatan

Teks Des Alwi/Julius Pour mencampuradukkan lokasi Markas Kenpeitai, antara Pasar Besar dengan Pasar Malam (di Jalan Ketabang).

2. a. JOMBANG 2 :  Teks Des Alwi/Julius Purwanto (2011. Hlm. 165-166)

Setelah mengeluarkan petunjuk serta melarang mengeluarkan tembakan sebelum ada perintah, Hasanoedin dan Soemarman maju, naik sedan bekas pakai pembesar Jepang, dengan pengemudi Soemantri, orang Madura, mantan polisi pamong praja.

Sesudah bergerak kira-kira 300 meter, Hasanoedin memberi perintah berhenti. MEREKA BERTIGA (Hasanoedin, Soemarman, Soemantri) langsung turun dari mobil.Soemarman memegang bendera putih yang telah dia siapkan sebelumnya. Soemantri yang mendapat perintah menunggu, karena jenuh setelah mengemudi mobil dari Soerabaja, tampaknya  salah mengerti. Dia tidak menunggu, melainkan dengan suara mesin gemuruh mobil langsung dia undurkan dengan cepat. Hasanoedin dan Soemarman langsung terkejut ditinggal. Apalagi sekarang, tiba-tiba MEREKA (Hasanoedin dan Soemarman) berdiri di jalanan berbatu, […]. Dengan hati berdebar, Hasanoedin dan Soemarman bergerak maju.

Soemarman melambaikan bendera putih sambil sorot matanya tajam, memandang ke depan.

Meski didera ketegangan luar biasa, keberuntungan ternyata berada di pihak Republik. Karena matahari berada di belakang mereka, meski diteropong, wajah Melayu KEDUAnya (Hasanoedin dan Soemarman) tidak nampak jelas

2. b. JOMBANG 2 : Teks Hario Kecik (1995, hlm. 139-140)

Setelah memberi perintah dan petunjuk tentang penempatan pasukan dan menekankan agar jangan sampai pihak melepaskan tembakan atau melakukan gerakan yang mencurigakan tanpa perintah, Hasanuddin, SAYA (Hario Kecik) dan Sumarman naik sedan yang disupiri oleh Sumantri, seorang asal Madura, bekas mantri polisi.[…]

Setelah bergerak sekitar 300 meter, jalan mulai mendatar. Hasanuddin memberi perintah berhenti. KAMI BERTIGA (Hasanussin, Hario Kecik, Sumarman) turun, jalan di depan tampak membelok ke kiri. Mungkin karena tidak mendengar perintah untuk menunggu di tempat itu, dengan suara mesin menderu Sumantri memundurkan mobil dengan cepat. KAMI BERTIGA (Hasanuddin, Hario Kecik, dan Sumarman.) bergerak maju, Sumarman berada di depan dengan senjata kami adalah pedang Samurai. Dengan hati berdebar KAMI (Hasanuddin, Hario Kecik, dan Sumarman.) melangkah maju dan bendera putih dilambaikan oleh Sumarman.

Tidak seorang Jepang pun tampak, tapi saya merasa diawasi oleh banyak mata. Yang menguntungkan adalah matahari berada di belakang KAMI  (Hasanuddin, Hario Kecik, dan Sumarman).  Wajah KAMI sedapat mungkin kami usahakan netral, karena kami pasti diteropong.

3. a. JOMBANG 3 :  Teks Des Alwi/Julius Purwanto (2011. Hlm. 166-167)

Tiba-tiba,  dari belakang jaring kamuflase muncul seorang prajurit Jepang. Sangkur di senapannya mengkilat kena pancaran sinar matahari. Senapan tersebut ternyata tidak diarahkan kepada Hasanoedin dan Soemarman, tetapi ke atas, ke samping sebelah kiri sambil berteriak dalam bahasa Jepang, “……berhenti.” Mereka berdua (Hasanoedin dan Soemarman, peny.) langsung berhenti.

Angin agak kencang bertiup di lapangan terbuka, dengan jelas tiupannya menyebabkan suara kibaran bendera. Hasanoedin dengan suara ditekan berbisik tegas“Age kondho, Man, ono surat teka Iwabe (Lekas jelaskan, Man, ada surat dari Iwabe.)”

Soemarman yang sebelum berangkat  telah ditunjuk sebagai juru bahasa karena dia bisa berbahasa Jepang, segera memberi penjelasan. Pembicaraan berlangsung cukup keras, maklum jarak antara mereka dengan prajurit Jepang tersebut tidak kurang dari 25 METER. Entah apakah pihak Jepang bisa memahami ucapan Soemarman, namun setelah mendengarkan penjelasan mengenai surat, secepat kilat prajurit Jepang tersebut menghilang dan MEREKA (Hasanoedin dan Soemarman) diting-galkan sendiri di tengah lapangan.

3. b. JOMBANG 3 : Teks Hario Kecik (1995, hlm. 140)

Tiba-tiba dari belakang samaran muncul seorang prajurit Jepang..Sangkur yang terpasang di senapannya berkilau terkena sinar matahari.Senjata itu tidak diarahkan kepada KAMI  (Hasanuddin, Hario Kecik, dan Soemarman),  tetapi ke atas ke arah samping.Prajurit itu berteriak ‘Berhenti!’ dalam bahasa Jepang.KAMI berhenti dan Sumarman melambaikan bendera putihnya.

Angin bertiup agak kencang di lapangan terbuka, jelas terdengar dari suara kibaran bendera.Hasanuddin dengan suara ditekan tetapi tegas berkata:“Age waraho Man, onok surat teko Iwabe”. (Lekas katakan Man, ada surat dari Iwabe).

Sumarman yang sebelum berangkat telah kami tentukan sebagai penerjemah karena ia mengaku pandai bahasa Jepang, segera berteriak-teriak mengeluarkan suara. Pembicaraan harus dilakukan dengan suara keras karena jarak antara kami (Hasanuddin, Hario Kecik, dan Soemarman) dan serdadu Jepang sekitar 40 METER dan angin masih saja bertiup kuat. Apakah Jepang itu mengerti bahasa Jepang Sumarman, saya  (Hario Kecik) dan mungkin juga Hasanuddin tidak tahu.Tetapi setelah perkataan Sumarman selesai, si prajurit menghilang secepat ia muncul tadi.

4. a. JOMBANG 4 :  Teks Des Alwi/Julius Purwanto (2011. Hlm. 166-167)

Sebentar kemudian dia sudah muncul kembali, kali ini disertai seorang perwira. Dengan langkah tegap mereka mendekat. Tampak potongan kain dibelakang peci mereka dimainkan tiupan angin, menambah kegagahan pasukan Jepang. Persis lima langkah di depan mereka(Hasanoedin dan Soemarman), kedua Jepang tersebut berhenti. Mereka segera memberikan hormat militer, kemudian langsung membungkukkan badan, cara khas Jepang dalam memberikan penghormatan.

Dengan sorot mata tajam tanpa berkedip, kedua anggota pasukan Republik tersebut (Hasanoedin dan Soemarman) segera membalas penghormatan dengan sikap sepadan. Mereka berdua (Hasanoedin dan Soemarman) merasa sedang dinilai sehingga harus menampilkan sifat keperwiraan, […..]

4. b. JOMBANG 4 : Teks Hario Kecik (1995, hlm. 141)

[…..] prajurit tersebut muncul lagi dengan disertai oleh seorang perwira. Dengan langkah tegap mereka mendekat, potongan-potongan kain di belakang peci mereka melambai-lambai dimainkan oleh tiupan angin, makin menegaskan kegagahan mereka. Sekitar 5 langkah di depan kami (Hasanuddin, Hario Kecik, dan Soemarman) mereka berhenti, dengan sopan memberi hormat militer. Mata mereka (Jepang !) dengan pandangan tajam tidak berkedip.

Kami bertiga(Hasanuddin, Hario Kecik, dan Soemarman) membalas penghormatan itu dengan cara sopan yang sepadan.

5. a. JOMBANG 5 :  Teks Des Alwi/Julius Purwanto (2011. Hlm. 166-167)

Hasanoedin membuka pembicaraan dengan menunjukkan  surat dari Iwabe, berikut menerangkan sesuatu dalam bahasa Jepang. Karena tampak si kapten Jepang masih kurang mengerti, Soemarman langsung ikut turun tangan, menambahkan penjelasan. Tampaknya, kapten tersebut mulai mengerti. Dia mengangguk-angguk sambil memberi komentar.

Tanpa membuang waktu, Hasanoedin langsung memberikan surat Iwabe. Kapten Jepang membacanya denga teliti, wajahnya tidak menunjukkan emosi sedikitpun. Selesai membaca, dia berbicara secukupnya. Soemarman menerjemahkan apa yang dikatakannya, bahwa semua isi surat bisa dia dimengerti . Dia meminta waktu 24 jam untuk mempersiapkan pelaksanaan pemindahan ke Soerabaja. Kapten Jepang segera memohon diri, kembali ke kamp. […..]

5. b. JOMBANG 5 : Teks Hario Kecik (1995, hlm. 141-142)

Hasan membuka pembicaraan dengan menunjukkan surat Iwabe dan menerangkan sesuatu dalam bahasa Jepang. Karena kelihatan bahwa Kapten Jepang itu kurang paham apa yang dimaksudkan Hasan, maka Sumarman menganggap perlu untuk mencampuri pembicaraan. Kapten itu sekarang terlihat lebih mengerti apa maksud pihak kami. Ia mengangguk-anggukkan kepala dan mengeluarkan beberapa kata.

Hasan memberikan surat Iwabe kepadanya dengan gaya seremonial. Kapten itu membaca dengan teliti, wajahnya tidak menunjukkan emosi apa pun. Selesai membaca ia berbicara tegas dan secukupnya. Sumarman menerjemahkan apa yang ia katakan: Semua isi surat dipahami. Ia minta waktu 24 jam untuk mempersiapkan pelaksanaan pemindahan kesatuannya ke Surabaya.

Hasanuddin meminta agar kapten itu menulis secarik pernyataan bahwa ia telah membaca surat dan bersedia pindah. Karena sulit untuk Kapten menulis kanji dengan pulpen tanpa menggunakan landasan, maka saya tawarkan punggung saya untuk digunakan sebagai landasan.[…..]

Setelah pembicaraan dianggap selesai, Kapten mohon diri dan kembali ke kamp-nya. Kami pun lega bahwa ternyata semua berjalan lancar tanpa ledakan ranjau atau nyanyian mitraliur. […..]

MODUS OPERANDI II

DES ALWI / JULIUS POUR MENGUTIP TULISAN HARIO KECIK

TANPA PENJELASAN SEBAGAI KUTIPAN

A.Perbandingan tulisan  tentang Inggris.

1. a. INGGRIS 1: Teks Des Alwi/Julius Purwanto (2011. Hlm. 218-219)

Para pemuda Soerabaja tampaknya memang tidak banyak mengetahui kualitas serta identitas yang sesungguhnya dari pihak Inggris. Hal tersebut disebabkan terbatasnya literatur pada zaman Belanda dan Jepang mengenai masalah sosial-politik-ekonomi dan kemiliteran Inggris.  Apa yang selama ini mereka dapatkan sekadar impresi lokal atau kesan dari membaca tulisan para novelis Inggris terkenal, semisal cerita detektif sebelum pecah Perang Asia Timur Raya. Antara lain, tulisan Sir Arthur  Conan Doyle seri Sherlock Holmes. Kemudian karya Rudyard Kipling, Daniel Defoe penulis kisah Robinson Crusoe berikut karya Charles Dickens, antara lain David Cooperfield dan Oliver Twist.

Sejarah umum bangsa-bangsa Eropa, termasuk Kerajaan Inggris , yang didapat dari sekolah terbatas hanya sebagai kelengkapan mata pelajaran. Begitu juga film yang beredar pada zaman Belanda, umumnya menonjolkan kejagoan para penguasa Inggris dalam melawan rakyat India.

1.b. INGGRIS 1: Teks Hario Kecik (1995, hlm. 157)

Ternyata setelah memeras otak, saya sadar bahwa apa yang saya ketahui tentang bangsa itu sedikit sekali. Pelajaran yang saya peroleh di sekolah, tidak memberi gambaran yang benar tentang Inggris sebagai bangsa penjajah. Terbatasnya literatur sosial, politik, ekonomi dan kemiliteran mengenai negeri Inggris pada jaman Belanda, mengakibatkan kaum intelektual tidak tahu banyak tentang kualitas dan identitas bangsa Inggris yang sebenarnya. Apa yang selama ini mereka dapatkan hanyalah kesan-kesan yang baik dari karya para sastrawan seperti Charles Dickens, David Copperfield dan Oliver Twist, Arthur Conan Doyle kisah-kisah detektif Sherlock Holmes, Rudyard Kipling Jungle Books, Daniel Defoe Robinson Crusoe, dan lain-lain. Film-film layar putih yang beredar pada jaman Belanda hanya menonjolkan kepahlawanan dan keunggulan Inggris dalam menindas rakyat India yang berontak.

2. a. INGGRIS 2: Teks Des Alwi/Julius Purwanto (2011. Hlm. 219-220)

Hanya sejumlah kecil mahasiswa Indonesia yang kebetulan belajar di luar negeri mendapat kesempatan untuk mengetahui lebih banyak  tentang kelakuan  Inggris. Para mahasiswa tersebut kemudian mengetahui tentang perjuangan  Mahatma Gandhi bersama jutaan rakyat India yang menderita di masa penjajahan. Meski sebagian besar rakyat India menderita kemiskinan, mereka tetap berusaha memberikan perlawanan gigih menentang kolonialisme Inggris, lewat beragam cara mulai dari boikot larangan pembuatan garam sampai aksi massa tanpa kekerasan (non-violence), puasa, dan berdoa. Sehingga hanya para mahasiswa tersebut saja yang sadar, bahwa praktik Inggris tak kalah kejamnya dengan para kolonialis lainnya.  Seperti peristiwa April 1919, dengan wajah dingin tanpa ekspresi pasukan Inggris melepaskan tembakan, menyebabkan ratusan rakyat India tewas ketika sedang melakukan  unjuk rasa damai di Walla Bagh, Amritsar. […..]

2. b.INGGRIS 2: Teks Hario Kecik (1995, hlm. 157-158)

Hanya mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri dan yang aktif dalam pergerakan nasional yang bisa mendapat kesempatan lebihbanyak untuk mempelajari Bangsa Inggris.Mereka tahu mengenai perjuangan Mahatma Gandhi melawan penjajahan Inggris, bersama rakyat India yang sangat menderita. Rakyat India walaupun sangat sulit hidupnya terus-menerus melawan penjajah Inggris dengan berbagai cara, mulai dari cara tanpa kekerasan, puasa dan sembahyang, sampai dengan cara kekerasan. Para mahasiswa itu tahu bahwa penjajah Inggris pernah tanpa ragu membunuh 10 ribu rakyat India dengan senapan mesin, ketika terjadi unjuk rasa dan berkumpul di Jalan Walla Bagh di Amritsar pada bulan April 1919.

3. a.INGGRIS 3: Teks Des Alwi/Julius Purwanto (2011. Hlm. 220)

Untuk rakyat Soerabaja yang telah mengalami tekanan dari sistem kolonial Belanda dalam kehidupan sehari-hari , mereka berpendapat Inggris dan Belanda setali tiga uang. Jadi, sewaktu pasukan Sekutu yang mendarat di Soerabaja ternyata Inggris, opini masyarakat Soerabaja sudah otomatis anti-Inggris. Apalagi setelah ternyata tentara Belanda ikut membonceng mendarat, maka tidak salah bahwa kekuatan militer Inggris kemudian disejajarkan dengan Belanda. Dalam arti, pasukan Inggris sekadar membuka jalan bagi Soerabaja khususnya dan Indonesia pada umumnya untuk kembali ke masa penjajahan.

3. b.INGGRIS 3: Teks Hario Kecik (1995, hlm. 158)

Rakyat Surabaya yang terus mengalami penindasan di dalam sistem penjajahan Belanda maupun Jepang, merasa secara naluri bahwa Inggris dan Belanda adalah setali tiga uang. Bagi mereka Inggris adalah ‘Belanda Inggris’. Mereka belum ‘terjamah’ oleh pendidikan Belanda tentang bangsa Inggris yang berat sebelah. Dapat dikatakan bahwa menjelang pendaratan Inggris, pandangan sejarah, akal sehat atau naluri dari masyarakat Surabaya adalah anti Inggris. Bahkan Inggris disejajarkan dengan Belanda sebagai musuh rakyat Surabaya dan dengan sendirinya juga musuh Republik Indonesia.

B. Perbandingan tulisan  tentang penyerbuan Markas Jepang di Gubeng.

1. a.SUNGKONO-SHIBATA: Teks Des Alwi/Julius Purwanto (2011. Hlm. 176-177)

Kolonel Soengkono mengambil keputusan untuk berunding dengan Laksamana Muda Laut Shibata agar bisa mengakhiri pertempuran, dan supaya senjata mereka diserahkan kepada pemerintah Republik. Perundingan berlangsung di Ketabang, di rumah dinas Shibata. Dalam perundingan tersebut ikut hadir Roeslan Wongsokoesoemo dan Koesnadi. Secara diplomatis Soengkono menyatakan, bahwa tujuan pemuda hanya ingin mendapatkan senjata dari saudara tua-nya untuk bisa digunakan mempertahankan diri, dalam menghadapi Belanda yang akan kembali menjajah Indonesia. “Laksamana Shibata, percayalah, kami rakyat Soerabaja tidak ingin membunuh saudara tua mereka” janji Soengkono sambil memberikan tanda hormat.

[…..]  Mungkin karena termakan oleh kata-kata Soengkono, Shibata langsung menyatakan setuju menghentikan pertempuran dan menyerahkan persediaan senjatanya kepada BKR. Dia mengirim seorang anggota stafnya, untuk menyampaikan perintah yang sama kepada Komandan Markas Kaigun di Goebeng. Kali ini dokumen penyerahan senjata ditandatangani oleh Jasin, Komandan Polisi Istimewa.

Kebijakan Soengkono mengadakan perundingan, kelak baru dapat dipahami.[…..]

1.b.SUNGKONO-SHIBATA: Teks Hario Kecik (1995, hlm. 96)

Baru jauh di kemudian hari saya diberitahu bahwa perundingan dengan Laksamana Muda Shibata telah terjadi di kediamannya di Ketabang. Sungkono mengetuai kelompok pemuda dalam perundingan yang dihadiri Ruslan Wongsokusumo, Sumarsono, Kusnadi, dan pemuda-pemuda lain dari berbagai kelompok. Sungkono bisa menyatakan dengan tepat dan diplomatis bahwa para pemuda hanya bertujuan untuk mendapatkan senjata untuk melawan Belanda yang berkehendak menjajah kembali rakyat Indonesia dan bukan untuk membunuh Jepang.

Shibata setuju menghentikan pertempuran dan menyerahkan senjata kepada BKR. Beliau menugaskan seorang perwira Jepang untuk menyampaikan surat perintahnya kepada komandan markas Kaigun di Gubeng. Mochamad Yasin ikut menandatangani dokumen itu sebagai Komandan Kesatuan Kepolisian agar secara resmi diakui oleh Sekutu.

C. Perbandingan tulisan  tentang Sangkur Tentara Jepang.

1.a.SANGKUR 1: Teks Des Alwi/Julius Purwanto (2011. Hlm. 177)

Saat perintah cease fire berlaku, sekelompok pemuda BKR Kaliasin dapat menyusup ke dalam kompleks markas dari bagian samping Timur. Mereka berhasil mengintai dan sangat terkejut, ketika melihat bahwa di lapangan tengah markas dipenuhi para prajurit Jepang dalam posisi berlutut dengan sangkur dipasang di senapan, menghadap ke arah matahari yang sudah condong ke arah Barat. Ratusan sangkur terhunus tersebut memantulkan sinar matahari, menyilaukan mata para pemuda yang mengintai. Sebuah pemandangan menakjubkan dan tidak mudah dilupakan.

1.b. SANGKUR 1: Teks Hario Kecik (1995, hlm. 95)

[…..] Begitu saya mulai merangkak, teman-teman dengan sendirinya bertiarap dan menunggu.  Apa yang saya lihat membuat jantung saya berdebar-debar, dan tangan saya bergerak refleks membuka kunci pengaman karaben. Apa yang saya lihat ini adalah juga salah satu dari pemandangan yang tidak mungkin bisa saya lupakan seumur hidup. Saya melihat lapangan sebesar lapangan sepak bola. Lapangan itu hampir penuh oleh prajurit Jepang. Mereka duduk dengan memegang senapan yang tegak bersangkur. Rantusan sangkur berkilau indah disinari cahaya matahari senja.

Saya mundur sedikit, lalu memberi isyarat kepada teman-teman agar […..] menyaksikan pemandangan menakjubkan itu. […..]

2.a. SANGKUR 2: Teks Des Alwi/Julius Purwanto (2011. Hlm. 177)

Seandainya massa rakyat tetap meneruskan penyerbuan hingga menerobos masuk ke dalam kompleks, para prajurit Jepang tersebut tidak akan membiarkan diri mereka dijamah dan akan melawan sampai habis. Dapat dibayangkan bagaimana akibatnya jika para prajurit Jepang yang sedang terdesak tersebut  menghadapi massa arek Suroboyo dan sudah mata gelap tidak bersedia mundur. Shibata rupanya dapat membayangkan apa yang akan terjadi. Oleh karena itu, dia mengambil kebijakan yang tepat untuk menghindarkan pertumpahan darah tanpa ada gunanya.

2. b.SANGKUR 2: Teks Hario Kecik (1995, hlm. 95-96)

Setelah kembali ke markas pikiran saya belum tenteram. Saya membayangkan lagi para prajurit Jepang yang berada di lapangan. Tentu mereka masih di sana, siap menunggu, taat sebagai prajurit sejati. Dalam benak mereka, mereka siap menghadapi serbuan kami dengan perang sangkur habis-habisan sesuai perintah atasannya.[…..]

Saya melaporkan apa yang kami alami kepada pimpinan BKR. Cak Dul Arnowo, Bung Wahab dan teman-teman lain terkejut dan heran. Tadinya mereka mengira bahwa dengan perundingan itu semua sudah beres. Memang keesokan harinya semua berjalan dengan lancar […..]. Saya kira kelancaran dan jalannya proses tersebut tanpa banyak pertumpahan darah adalah jasa dari Laksamana Muda Yuchiro Shibata.

MODUS OPERANDI III

DES ALWI / JULIUS POUR  MENGARANG FAKTA SEJARAH

A.Perbandingan tulisan  tentang Iswahyudi

1.a. ISWAHYUDI : Teks Des Alwi/Julius Purwanto (2011. Hlm. 284-285)

Di Hotel Oranje juga tinggal seorang dokter berkebangsaan Indonesia, namanya Roebiono, yang tinggal satu kamar dengan perwira militer Australia. Ternyata, Roebiono anggota Palang Merah Belanda yang sengaja didatangkan dari Australia. Sebelum Jepang datang, dia ikut pasukan Belanda menyelamatkan diri ke Australia. Roebiono tidak lari seorang diri, dia bersama seorang penerbang, namanya Iswahjoedi.Berbeda dengan Roebiono yang bisa lolos dalam screening, Iswahjoedi tidak lolos. Dia ditolak masuk Australia, langsung dideportasi, dikembalikan ke Pulau Jawa. Dan segera ditangkap oleh tentara Jepang. Nasib Iswahjoedi sangat beruntung. Dia bisa ikut dibebaskan massa ketika markas Kempetai Soerabaja diserbu.

1.b. ISWAHYUDI : Teks Hario Kecik (1995, hlm. 160-164)

(Oktober 1945. Hario Kecik menjadi Wakil Komandan PTKR. Markasnya berada di bekas Markas Kempei Tai yang telah diserbu dan diduduki oleh arek-arek Surabaya pada tanggal 1 Oktober 1945. Iswahyudi secara kebetulan dijumpai Hario Kecik yang sedang melakukan inspeksi para tahanan.)

Iswahyudi adalah mahasiswa kedokteran sebelum memasuki sekolah penerbang pada jaman Belanda. Dan Suryo, yang waktu muda bernama Suyanto, adalah tetangga saya [….] Mereka semua mengalami depresi mendalam. Saya katakan dengan cepat dalam bahasa Belanda bahwa mereka akan saya keluarkan pada malam hari setelah pergantian penjagaan. […..] Pada malam hari itu juga, Iskak, Iswahyudi dan Suryo sudah bisa dikeluarkan dari sel dan dimasukkan ke ruangan kantor saya. Saya telah memerintahkan anggauta PTKR yang mengenal Iskak sebagai gurunya di sekolah menengah atas, untuk melaksanakan tugas itu. […..]

Malam itu Iskak dan Iswahyudi kami beri seragam lengkap dan pada saat itu juga kami nyatakan mereka sebagai anggauta PTKR. […..]

[…..] Iskak dan Iswahyudi ditangkap di rumah Iskak, di Tambaksari, oleh sekelompok pemuda bersenjata yang tidak jelas identitasnya. […..] Waktu itu Iskak sedang bersama Iswahyudi, yang kebetulan juga sedang bertamu ke rumahnya sebagai teman Suwarti, adik perempuan Iskak, yang di kemudian hari menjadi istri Iswahyudi. […..]

Malam itu saya sempat berbicara dengan Iswahyudi. Ia menceritakan bahwa ia meninggalkan studi kedokteran untuk memasuki VVC (Korps Penerbang Sukarela, Vrijwillingers Vliegers Corps. Ia kemudian ikut tentara Belanda yang lari ke Australia pada waktu tentara Jepang mulai memasuki wilayah Hindia Belanda. Ia berpangkat Letnan Penerbang. Pada akhir tahun 1944 ia didaratkan dengan kapal selam Sekutu di pantai selatan Blitar untuk mengerjakan tugas intelijen dari Sekutu. […..] Iswahyudi tertangkap pasukan Jepang tidak lama setelah mendarat. Saya tidak bertanya lebih jauh tentang petualangannya. […..]

B. Perbandingan tulisan  tentang Bung Tomo dalam penyerbuan Katsura Butai di Gedung Don Bosco.

1.a.BUNG TOMO:  Teks Des Alwi/Julius Purwanto (2011. Hlm. 169)

[…..] Di tengah keributan, mendadak tampil, Mohamad Mangoendiprodjo, bekas Daidanco PETA, mencoba melerai emosi massa dengan berpidato, menganjurkan ketenangan dan disiplin. Soetomo, bekas wartawan Kantor Berita Domei yang waktu itu sudah bergabung dengan RRI dan kelak lebih dikenal dengan nama Bung Tomo, langsung tampil ke depan, membakar semangat.

1.b.BUNG TOMO: Teks Hario Kecik (1995, hlm. 85-86)

(Penyerbuan Katsura Butai, Don Bosco) Pada saat itu saya (Hario Kecik) bersama empat pelajar dari BKR Kaliasin berada di tengah ratusan rakyat yang memenuhi halaman dalam markas Jepang itu. Kami melihat seorang lelaki yang tampak tidak muda lagi dan seorang pemuda berpidato bergantian kepada massa yang sebagian besar terdiri dari pemuda. Dua orang itu adalah bekas Daidan Co Mohammad dan pemuda Sutomo (Kelak disebut “Bung Tomo”). Mereka dengan berapi-api menganjurkan agar massa berdisiplin dan menunggu perintah, dan agar para pemuda meninggalkan tempat itu.

Tetapi saya dan teman-teman bergerak semakin lebih masuk ke halaman, ke bagian gedung di mana terdapat meja-meja panjang. […..]

[…..] Dalam hati saya (Hario Kecik) mencaci-maki kedua orang  yang berpidato itu (Mohammad dan Tomo) yang menganjurkan rakyat mundur, karena saya merasa bahwa hal itu bertentangan dengan suasana dan semangat pemuda pada umumnya. Baru kemudian saya sempat berpikir apa sebab mereka berdua bertindak seperti itu. Mungkin mereka berdua yang selama pendudukan Jepang bekerja langsung di bawah Jepang, sudah terbiasa menunggu instruksi. Mohammad adalah bekas Daidan Co, dan Bung Tomo bekerja di salah satu kantor Jepang..[…..]

Keterangan

Tesis Hario Kecik tentang pemuda Sutomo sederhana, Tomo bengak-bengok itu SETELAH 1 OKTOBER 1945, saat arek-arek Soeroboyo SUDAH menguasai senjata Jepang. Sebelumnya, seperti adegan di Don Bosco (26 September 1945), Tomo –seperti juga Mohammad- justru berperan menjinakkan massa rakyat kampung Soeroboyo dan bertentangan dengan semangat pemuda umumnya. Tempatkan dalam Time Line ! Hario Kecik selalu mengingatkan.

Hal yang berlaku juga bagi siapapun yang hendak menokohkan diri lewat penceritaan Pertempuran Surabaya, termasuk Soemarsono (dikabarkan buku terbarunya berjudul “Pemimpin Pertempuran Surabaya”), Roeslan Abdulgani dan lainnya, termasuk yang belakangan hari mengaku sebagai pelaku perobekan bendera Belanda di Hotel Oranje, juga kalangan yang menepuk dada  melakukan “gerakan bawah tanah” di zaman pendudukan Jepang.

Itu semua berbeda dengan figur Soengkono, Doel Arnowo, Pak Dirman, Pak Suryo, Ridwan, Wahab, dan banyak nama lain yang semakin dihormati ketika tidak meninggikan diri di suatu titik pusat kisah Pertempuran Surabaya. Dan tempat terhormat tetaplah 20 ribu nyawa arek Soeroboyo yang melayang dalam Pertempuran Besar melawan Inggris itu, faceless dan nameless; bukan pada Tomo, Des Alwi, “Toni Wen”, atau siapapun juga.

[Tentang pemuda Soetomo, lihat: Memoar Hario Kecik (1995) halaman: 85 – 86, 177 – 178 (peran Radio Pemberontak dalam Pertempuran 3 Hari, Oktober 1945), 185 – 187, dll].

**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun