“Pers Indonesia juga harus bisa menjadi wasit dan pembimbing yang adil, menjadi pengawas yang teliti dan seksama terhadap pelaksanaan Pilkada, dan tidak justru sebaliknya, menjadi “pemain” yang menyalahgunakan ketergantungan masyarakat terhadap media (Butir 4 Deklarasi Hari Pers Nasional tahun 2014 di Bengkulu)…
”Itulah penggalan kalimat dari Seruan Dewan Pers No. 01/Seruan-DP/X/2015 Tentang Posisi Media dan Imparsialitas Wartawan Dalam Pilkada 2015. Seruan yang dikeluarkan dan ditandatangani oleh Ketua Dewan Pers Bagir Manan tanggal 23 Oktober 2015 itu menegaskan agar pers nasional dapat menjamin masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkualitas dan adil, serta independen. Saya menilai seruan Dewan Pers ini adalah wujud kekhawatiran dari Lembaga Dewan Pers di mana media dan atau jurnalisnya banyak ditemukan menjadi partisan dalam aktivitas menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2015. Terutama pada keberpihakan pemberitaan Pilkada yang sangat terlihat dan terang-terangan di daerah, sehingga Dewan Pers merasa perlu kembali mengingatkan para media dan jurnalis untuk kembali pada peran pers yang ada pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
Dalam Pasal 6 butir e Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, disebutkan pers nasional melaksanakan peranannya memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Tampaknya peranan jurnalis itu sedikit terganggu dengan kondisi menjelang Pilkada 2015 ini, mereka adalah para jurnalis yang “bermain” dalam aktivitas jurnalistiknya. Hal ini bisa dilihat dari produk jurnalistik seperti pemberitaan terhadap Calon Kepala Daerah (Cakada), jurnalis yang tak independen hanya memperjuangkan kebenaran Cakada yang “membayarnya”, parahnya lagi mereka memperburuk citra dan memprovokasi Cakada yang lainnya. Praktik seperti itu mencerminkan pelanggaran terhadap Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Fungsi jurnalis menjadi tertukar menggantikan juru bicara politik dan tim sukses Cakada melalui produk jurnalistik di media massa. Mereka menjadi alat komunikasi politik Cakada tertentu. Mencitrakan visi dan misi, seolah-olah membenarkan semua tingkah-laku dan upaya dari Cakada dengan berbagai pola kampanyenya dalam meraih ketertarikan konstituennya.
Keberpihakan jurnalis terhadap Cakada tertentu justru mencoreng citra jurnalis. Dengan keberpihakan tersebut, karya jurnalistik mereka tidak lagi mengedukasi para pembaca, pemirsa dan pendengarnya. Yang disuguhkan hanyalah produk jurnalistik yang telah diolah dengan maksud dan tujuan yang diinginkan tanpa memiliki nilai cover both side. Karena itu, peran jurnalis yang tak lagi independen tidaklah lagi bisa dikatakan menjalankan tugas jurnalistiknya dengan mengedepankan prinsip Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.
Hal seperti itu relatif banyak terjadi di daerah-daerah menjelang Pilkada, media massa baru dan jurnalis akan semakin bermunculan, hadir sesaat hanya di musim Pilkada. Dari hal itu, peran media massa seolah menjadi tidak terarah, karena sudah dimuati dengan kepentingan politik. Berbagai content yang dipublikasikan hanya didominasi kepentingan salah satu Cakada, khususnya bagi suatu daerah yang korporasi medianya tidak memiliki kompetitor.
Media dan jurnalis seperti itu mencengkram situasi perpolitikan, konstituen seolah hanya dicekoki oleh pemberitaan yang minim akurasi, menghakimi dan tidak mengedukasi. Hal ini tentu hanya memperkeruh situasi, jurnalis sebagai ujung tombak dari medianya justru menjadi aktor yang menggali titik lemah dari Cakada melalui citra negatif tanpa melakukan keberimbangan dari karya jurnalistiknya.
Ghostwriter
Tidak hanya pada produk jurnalistiknya, secara individu mau pun kelembagaan, mereka berperan sebagai ghostwriter. Jasa kepenulisan mereka dibayar untuk memengaruhi massa melalui karya-karya tulisannya baik yang di tulis dalam bentuk straight news, feature, investigatif report, opini, dan berbagai bentuk lainnya. Hal ini sah-sah saja untuk mendulang simpati massa. Tetapi, ketika tinta pena jurnalis telah berpihak, maka sebenarnya peran mereka tidak lagi sebagai jurnalis yang independen. Situasi seperti ini kecenderungan lebih mengarah kepada fungsi tim sukses atau tim pemenangan, yang memiliki porsi besar untuk mengomunikasikan dan membentuk citra Cakada yang diagung-agungkannya.
Oleh karena itu, kebenaran karya jurnalistik melalui goresan tinta pena jurnalis idealnya bersumber dari ketidakberpihakan, hati nurani, dan mengedepankan Kode Etik Jurnalistik, serta Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. Karena hanya dengan cara itulah karya jurnalistik yang profesional dapat dihargai oleh para pembaca, pemirsa, dan pendengarnya. ***
Nugroho Tri Putra
*Penulis adalah Alumnus Program Beasiswa S2 Dalam Negeri Balitbang SDM, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI.