Mohon tunggu...
Nugroho Tri Putra
Nugroho Tri Putra Mohon Tunggu... Jurnalis - ASN

Pria kelahiran Kota Bengkulu 13 Agustus 1987. Minat pada bidang jurnalistik dan psikologi. Pria low profile. Di tahun 2008 menyelesaikan studi D III Jurnalistik Universitas Bengkulu (lulusan terbaik). Di tahun 2009 mendapat kesempatan menjadi abdi negara di Kota Bengkulu. Pada akhir tahun 2012 menyelesaikan studi S1 Ilmu Komunikasi Unived. Tahun 2013 mendapatkan kesempatan melanjutkan studi Pascasarjana Ilmu Komunikasi (konsentrasi Public Relations) di Universitas Andalas, Padang, melalui Program Beasiswa S2 Dalam Negeri Balitbang SDM Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) RI. Bulan Juni 2015 menyelesaikan studi magisternya dengan masa studi 1 tahun 9 bulan. Selama masa studi tersebut, 23 artikel opininya pernah dimuat di lima surat kabar harian & empat media online. Sempat berkarier sebagai jurnalis tv pada tahun 2008. Bertugas di Humas Setda Kota Bengkulu sejak 2009. Dipercaya sebagai redaktur harian press release di Humas Pemkot Bengkulu (2010 - 2013). Redaktur news pada website resmi Pemkot Bengkulu (2012 - Okt 2013). Setelah masa tugas belajar (S2), dirinya (akhir September 2015) ditugaskan kembali di Humas Pemkot Bengkulu. Selain sebagai Kompasianer di Kompasiana, tulisan artikel opininya pernah dimuat di media online BeritaSatu.com, kontraonline.com, kupasbengkulu.com, metrosiantar.com, lensapost.com, pedomanbengkulu.com dan di Surat Kabar Harian PADANG EKSPRES, Harian BATAM POS, Harian Umum SINGGALANG, Harian Umum HALUAN, Harian RAKYAT BENGKULU, Harian BENGKULU EKSPRESS, dan Harian Radar Bengkulu. Artikel ilmiahnya pernah dimuat di salah satu jurnal IAIN Imam Bonjol, Padang. Dirinya pernah diundang Puslitbang Literasi dan Profesi Balitbang SDM Kementerian Kominfo ke Denpasar, Bali untuk mempresentasikan Karya Tulis Ilmiahnya pada November 2015. Januari 2017 dirinya diberi amanah jabatan sebagai Kepala Seksi Kehumasan dan LIP pada Dinas Komunikasi, Informatika dan Persandian Kota Bengkulu. Tulisan featurenya berjudul Menyambung Napas dengan Berjualan Kipas meraih penghargaan dari Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo sebagai Tulisan Feature Terbaik 3 dalam Bimbingan Teknis (Bimtek) Pengelolaan Konten Bagi Jurnalis Media Center Daerah di Bali, 25-27 April 2018 yang diikuti oleh 84 Jurnalis Media Center Daerah. Email: nugroho.triputra@pnsmail.go.id---nugrohotriputra@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Harta, Tahta, Wanita

24 Oktober 2014   03:15 Diperbarui: 4 April 2017   17:04 887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14140700381009543935

Banyak sebab kehidupan di duniawi menjadi rusak, diantaranya adalah karena harta, tahta, wanita. Mayoritas, di dalam kehidupan sosial dipengaruhi tiga hal tersebut. Hal ini paling terlihat ketika mengamati lingkungan sosial kita. Karena harta dan tahta, yang jauh bisa jadi mendekat dan yang dekat bisa jadi menjauh. Pola komunikasi yang terjadi menjadi bisa diukur, apakah seseorang memiliki kepentingan atas interaksi yang terjadi atau hanya murni ketulusan suatu hubungan. Bahayanya lagi, diantara penyebab perpisahan pasangan suami istri juga dikarenakan harta, tahta, wanita.

Banyak fenomena kasus yang sering kita baca di surat kabar, media online dan ditonton di televisi, yang paling kental adalah publik figur, diantaranya artis dan pejabat negara.

Harta, tahta, wanita. Ketiga kata ini memiliki korelasi dan dampak yang luar biasa di dalam kehidupan terkhusus bagi kaum pria. Banyak manusia yang lupa diri karena harta yang diperolehnya, banyak manusia lupa daratan karena tahta yang sedang diamanatkan kepadanya, dan banyak pula manusia terutama kaum pria yang hidupnya tersesat karena wanita.

Kegelimangan harta terkadang membuat manusia hidup berfoya-foya, mungkin sebagai bukti eksistensi bahwa mereka adalah bagian dari kaum berada, yang bisa memenuhi semua hasrat dan keinginan terpendam dari segala sesuatu yang mereka inginkan.

Karena tahta atau suatu kedudukan yang dimiliki, kadang pula manusia bertindak semaunya, tidak lagi melihat nilai-nilai kemanusiaan yang ada. Bahkan semua banyak terbukti di bangsa ini, dari orang biasa hingga menteri negara, dari yang mencuri semangka hingga mencuri uang negara, semua dibutakan karena satu tujuan keinginan harta dan tahta.

Banyaknya harta dan tingginya tahta seseorang seolah menjadi tolok ukur kesuksesan dan kebahagiaan yang dapat menarik hati para wanita, mereka akan bahagia jika pasangan hidupnya bergelimang harta, berkedudukan tinggi, berpengaruh, apalagi memiliki cinta yang setia.

Sejatinya itu hanya persepsi yang selama ini berkembang “mungkin” oleh sebagian wanita. Namun pada situasi tertentu, harta dan tahta juga bisa mengakibatkan suatu interaksi di dalam hubungan tidak lagi komunikatif dan harmonis, akibat adanya faktor-faktor kognitif yang secara psikologis sosial mempengaruhi manusia tersebut.

Menurut Leon Festinger dalam teori cognitive dissonance, manusia membawa berbagai macam unsur kognitif dalam dirinya, seperti elemen sikap, persepsi, pengetahuan dan elemen tingkah laku (behavior). Masing-masing elemen itu tidak terpisah satu sama lain, namun saling memengaruhi dalam suatu sistem yang saling berhubungan. Masing-masing elemen akan memilih salah satu jenis hubungan dari tiga jenis hubungan yang mungkin ada dengan masing-masing elemen lainnya.

Jenis hubungan pertama disebut dengan irrelevant atau hubungan nihil (tidak relevan), jenis hubungan ini tidak memberikan pengaruh apa-apa kepada masing-masing elemen yang terdapat dalam sistem. Hubungan kedua adalah hubungan konsisten, atau disebut juga konsonan, yaitu hubungan yang terjadi dengan salah satu elemen yang memperkuat elemen lainnya. Jenis hubungan ketiga adalah hubungan yang tidak sesuai atau inkonsisten (disonan), inkonsisten muncul karena adanya dua variabel yaitu; bobot dari elemen kognitif dan jumlah elemen yang terlibat dalam hubungan yang inkonsisten itu.

Dengan kata lain, jika seseorang memiliki sejumlah hal yang inkonsisten dan semuanya merupakan hal yang penting bagi seseorang itu, maka seseorang itu akan merasakan tekanan yang semakin besar. Misalnya, jika banyaknya harta dan tingginya tahta bukanlah suatu hal yang penting bagi diri, maka seberapa pun harta dan tingginya tahta yang dimiliki tidak akan memberikan pengaruh terhadap kebahagiaan seseorang.

Jika dikaitkan dengan realitas sosial, seseorang yang banyak harta dan memiliki tahta namun tidak memiliki kesempurnaan rasa kasihsayang kepada keluarga maupun orang yang dicintainya, secara psikis orang tersebut tidak memiliki suatu bentuk kebahagiaan yang diharapkan. Begitu juga sebaliknya, kecintaan seorang wanita yang hanya berfokus pada harta dan tahta yang dituju jika tidak diimbangi dengan ketulusan untuk saling mencintai sesama orang yang dicintainya justru akan membawa kejurang kehancuran.

Realitas sosial menggambarkan, karena harta, yang benci bisa jadi cinta dan yang cinta bisa jadi benci. Maka menurut penulis, bukanlah seorang pria yang berhasil secara utuh, jika dia hanya berhasil dalam berkarier, berharta dan bertahta, sementara dia tidak didampingi oleh seorang wanita mulia. Bukankah hidup ini indah dalam keseimbangan..?***

Artikel opini ini dimuat di Harian Rakyat Bengkulu, edisi hari ini Kamis 23 Oktober 2014.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun