Banyak sebab kehidupan di duniawi menjadi rusak, diantaranya adalah karena harta, tahta, wanita. Mayoritas, di dalam kehidupan sosial dipengaruhi tiga hal tersebut. Hal ini paling terlihat ketika mengamati lingkungan sosial kita. Karena harta dan tahta, yang jauh bisa jadi mendekat dan yang dekat bisa jadi menjauh. Pola komunikasi yang terjadi menjadi bisa diukur, apakah seseorang memiliki kepentingan atas interaksi yang terjadi atau hanya murni ketulusan suatu hubungan. Bahayanya lagi, diantara penyebab perpisahan pasangan suami istri juga dikarenakan harta, tahta, wanita.
Banyak fenomena kasus yang sering kita baca di surat kabar, media online dan ditonton di televisi, yang paling kental adalah publik figur, diantaranya artis dan pejabat negara.
Harta, tahta, wanita. Ketiga kata ini memiliki korelasi dan dampak yang luar biasa di dalam kehidupan terkhusus bagi kaum pria. Banyak manusia yang lupa diri karena harta yang diperolehnya, banyak manusia lupa daratan karena tahta yang sedang diamanatkan kepadanya, dan banyak pula manusia terutama kaum pria yang hidupnya tersesat karena wanita.
Kegelimangan harta terkadang membuat manusia hidup berfoya-foya, mungkin sebagai bukti eksistensi bahwa mereka adalah bagian dari kaum berada, yang bisa memenuhi semua hasrat dan keinginan terpendam dari segala sesuatu yang mereka inginkan.
Karena tahta atau suatu kedudukan yang dimiliki, kadang pula manusia bertindak semaunya, tidak lagi melihat nilai-nilai kemanusiaan yang ada. Bahkan semua banyak terbukti di bangsa ini, dari orang biasa hingga menteri negara, dari yang mencuri semangka hingga mencuri uang negara, semua dibutakan karena satu tujuan keinginan harta dan tahta.
Banyaknya harta dan tingginya tahta seseorang seolah menjadi tolok ukur kesuksesan dan kebahagiaan yang dapat menarik hati para wanita, mereka akan bahagia jika pasangan hidupnya bergelimang harta, berkedudukan tinggi, berpengaruh, apalagi memiliki cinta yang setia.
Sejatinya itu hanya persepsi yang selama ini berkembang “mungkin” oleh sebagian wanita. Namun pada situasi tertentu, harta dan tahta juga bisa mengakibatkan suatu interaksi di dalam hubungan tidak lagi komunikatif dan harmonis, akibat adanya faktor-faktor kognitif yang secara psikologis sosial mempengaruhi manusia tersebut.
Menurut Leon Festinger dalam teori cognitive dissonance, manusia membawa berbagai macam unsur kognitif dalam dirinya, seperti elemen sikap, persepsi, pengetahuan dan elemen tingkah laku (behavior). Masing-masing elemen itu tidak terpisah satu sama lain, namun saling memengaruhi dalam suatu sistem yang saling berhubungan. Masing-masing elemen akan memilih salah satu jenis hubungan dari tiga jenis hubungan yang mungkin ada dengan masing-masing elemen lainnya.
Jenis hubungan pertama disebut dengan irrelevant atau hubungan nihil (tidak relevan), jenis hubungan ini tidak memberikan pengaruh apa-apa kepada masing-masing elemen yang terdapat dalam sistem. Hubungan kedua adalah hubungan konsisten, atau disebut juga konsonan, yaitu hubungan yang terjadi dengan salah satu elemen yang memperkuat elemen lainnya. Jenis hubungan ketiga adalah hubungan yang tidak sesuai atau inkonsisten (disonan), inkonsisten muncul karena adanya dua variabel yaitu; bobot dari elemen kognitif dan jumlah elemen yang terlibat dalam hubungan yang inkonsisten itu.
Dengan kata lain, jika seseorang memiliki sejumlah hal yang inkonsisten dan semuanya merupakan hal yang penting bagi seseorang itu, maka seseorang itu akan merasakan tekanan yang semakin besar. Misalnya, jika banyaknya harta dan tingginya tahta bukanlah suatu hal yang penting bagi diri, maka seberapa pun harta dan tingginya tahta yang dimiliki tidak akan memberikan pengaruh terhadap kebahagiaan seseorang.
Jika dikaitkan dengan realitas sosial, seseorang yang banyak harta dan memiliki tahta namun tidak memiliki kesempurnaan rasa kasihsayang kepada keluarga maupun orang yang dicintainya, secara psikis orang tersebut tidak memiliki suatu bentuk kebahagiaan yang diharapkan. Begitu juga sebaliknya, kecintaan seorang wanita yang hanya berfokus pada harta dan tahta yang dituju jika tidak diimbangi dengan ketulusan untuk saling mencintai sesama orang yang dicintainya justru akan membawa kejurang kehancuran.
Realitas sosial menggambarkan, karena harta, yang benci bisa jadi cinta dan yang cinta bisa jadi benci. Maka menurut penulis, bukanlah seorang pria yang berhasil secara utuh, jika dia hanya berhasil dalam berkarier, berharta dan bertahta, sementara dia tidak didampingi oleh seorang wanita mulia. Bukankah hidup ini indah dalam keseimbangan..?***
Artikel opini ini dimuat di Harian Rakyat Bengkulu, edisi hari ini Kamis 23 Oktober 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H