Mohon tunggu...
Nugroho Saputro
Nugroho Saputro Mohon Tunggu... -

Kuli partikelir. Tukang foto dan Belajar menulis untuk mengasah pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Politik

RJ Lino dan Sumpah Pemuda Ke-Dua

11 Februari 2016   21:14 Diperbarui: 12 Februari 2016   12:12 1133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menyatukan Indonesia Secara Ekonomi

[caption caption="RJ Lino"][/caption]

Tulisan ini adalah hasil wawancara tim ALSI ITB dengan RJ Lino pada suatu kesempatan. 

RJ Lino adalah sosok visioner yang fokus dalam setiap tindakan. Ia mampu menangkap gambar besar dari setiap persoalan, sekaligus menemukan solusi jitu,cepat dan sederhana dengan mengedepankan common sense, akal sehat. “Sedikit kritik saya untuk teman-teman insinyur yang karena pintar terbelenggu dalam kepintarannya. Orang pintar khususnya, teknik cenderung berpikir linier, sulit mengajaknya berpikir dalam perspektif yang lebih luas. Pikiran bahwa karena saya pintar, maka cara saya yang paling benar harus ditinggalkan. Di lapangan masalah begitu kompleksnya yang menuntut kita berfikir dan bertindak multi dimensional. Saat menghadapi masalah besar, kita perlu sejenak menarik diri dari helicopter view sehingga bisa melihat gambar besar untuk kemudian menyelesaikannya, seringkali bahkan hanya perlu cara-cara sederhana, tidak perlu dengan kerumitan hitungan integral” ungkap Lino dengan senyum khasnya. Sebuah awal yang menarik.

Masa Kecil dan Mimpi RJ Lino

Lahir di Ambon dari seorang ayah asal Rote dan Ibu asal Ambon, Lino menghabiskan masa kecil di Amahai, Maluku Tengah. Kunjungan Bung Karno saat Lino berusia 8 tahun telah mengubah hidup dan impiannya, Presiden Republik Indonesia Pertama itu berkunjung ke Amahai dalam rangka peletakan batu pertama pembangunan ibu kota baru Kabupaten Maluku Tengah. Masih lekat dalam ingatan Lino, saat itu Bung Karno menanyakan apa arti “Gotong Royong” dalam bahasa lokal pulau Seram. Kemudian di jawab oleh masyarakat bahwa gotong royong dalam bahasa setempat adalah Masohi. Seketika itu juga Bung Karno menamakan kota baru itu dengan nama Masohi. “Bertemu Soekarno, Presiden yang mampu menyatukan Indonesia yang begitu luas, a big nation, tentu sangat istimewa. Seorang pejuang yang menghabiskan 20 tahun hidupnya di penjara dan pengasingan untuk sesuatu yang diyakini, pastilah bukan orang biasa. You can imagine betapa hebatnya saat dia bicara dan memberikan semangat kepada orang-orang, even a litte boy you can impressed. Setelah pertemuan itu, saya baca sejarah dan mencari tahu di mana Soekarno belajar. Maka setelah tahu dia belajar di ITB, saya bertekad akan kuliah di tempat yang sama dengan tempat beliau belajar. Setelah hari itu seluruh orientasi dan arah hidup saya, saya tujukan hanya agar bisa masuk ITB, ITB-nya dimana? iya di teknik sipil, tempat Bung Karno, orang yang saya kagumi. Kharisma Bung Karno telah menyihir saya untuk meneladani sikapnya tekun memperjuangkan impian. Sejak masuk ITB, tujuan saya jelas, menjadi insinyur, insinyur pelabuhan. Kenapa pelabuhan? Alasannya karena hidup saya tidak bisa dipisahkan dari laut. Laut, ocean is a part of my life,” nada suara Lino terdengar begitu tegas, dalam dan penuh keyakinan.

Duduk berhadapan dengan Lino, kita dengan cepat terbawa semangat dan optimisnya. Dia mampu menjelaskan berbagai hal dengan jelas, detail dan sangat cepat. Ide-ide dan berbagai strategi briliant mengalir di sepanjang obrolan yang membuat waktu begitu cepat berlalu. Lino, yang dikenal banyak koleganya sebagai sosok pimpinan yang tegas, pemberani dan pantang menyerah, terlihat begitu bersemangat dan penuh passion menjelaskan berbagai hal. “Saya tidak pernah takut melakukan sesuatu yang saya yakini benar serta bermanfaat bagi banyak orang banyak. Saya menanamkan keyakinan dalam diri bahwa tidak ada yang susah, semua pasti bisa sepanjang kita mau berusaha. Saya terbiasa dengan sikap itu, bahkan saat masih kuliah ditempat kos saya dulu di Bandung, saya pasang tulisan besar-besar “PASTI”. Kata yang memberikan sugesti pada diri saya bahwa jika mau serius berusaha, semua pasti bisa kita atasi”.

Perjalanan hidup Lino diwarnai perjuangan dan tekad yang pantang surut. Ia selalu serius menjalani berbagai hal, dan tetap mampu menjaga fokus hingga impiannya terwujud, tak terkecuali dengan pilihan hidupnya. Sesuatu yang jarang orang punya. Setelah menyandang gelar insinyur, tanpa setitikpun keraguan dia memilih bekerja di Direktorat Jenderal Hubungan Laut, meskipun saat itu banyak peluang lain yang secara finansial lebih menjanjikan menantinya. Saat itu dia mengajak banyak teman-temannya dari ITB untuk masuk ke Dirjen Perhubungan Laut Kementrian Perhubungan. Lino berkata kepada teman-temannya kalau kita mau memperbaiki pemerintah Negara ini, kita juga harus masuk di dalamnya. Dengan begitu kita bisa langsung memperbaikinya dari dalam, bukan hanya teriak-teriak dan demonstrasi di jalanan.

Panggilan Hati Kembali ke Pelindo II

Karir RJ Lino dari memulai sebagai staf di Direktorat Perhubungan Laut Kemenhub hingga ke Pelindo II melesat, namun akhirnya sebuah insiden membuatnya harus keluar dari Pelindo pada tahun 1990. RJ Lino memaparkannya dalam sebuah cerita yang menarik.

“Setelah 14 tahun bekerja, saya keluar dengan pangkat yang cukup tinggi untuk pegawai muda pada saat itu kemudian menjalankan usaha yang tidak tergantung serta berkaitan dengan pemerintah, kemudian memilih bisnis furnitur, sesuatu yang sangat berbeda dengan dunia saya sebelumnya. Namun berbekal ketekunan, sikap yang fokus dan usaha yang sungguh-sungguh usaha saya maju dan sukses. Kondisi perekonomian saya juga jauh lebih baik dibandingkan saat bekerja di Pelindo. Tapi mungkin karena panggilan hati dan hidup saya memang laut dan pelabuhan, pada tahun 2009 saat saya masih bekerja di Guigang, Guangxie, Cina, saya ditawari pulang kembali ke-Indonesia, tepatnya kembali ke Pelindo. Saya ditelpon dan mendapat tawaran langsung dari bapak Sofyan Djalil (Menteri BUMN saat itu. red). Saat wawancara beliau menanyakan beberapa hal mendasar mengenai kondisi pelabuhan kita. Saya menjawab gamblang, sekaligus mengajukan beberapa syarat yang tidak mudah dan memerlukan ketegasan sikap untuk memenuhinya. Makanya saya terkesan saat semua syarat yang saya ajukan disetujui beliau, bapak Sofyan Djalil dalam pandangan saya memang istimewa karena semua kritik pedas saya terhadap pengelolaan pelabuhan termasuk andil pemerintah menjadikan pelabuhan kita tidak berkembang diterimanya dengan lapang dada. Melihat kepercayaan yang begitu besar yang diberikan kepada saya, saya termotivasi untuk bekerja keras dan sangat serius mendedikasikan pengalaman dan keahlian saya untuk membenahi Pelindo yang saat itu sudah jauh tertinggal dibanding pelabuhan-pelabuhan di negara-negara tetangga. Tentu saja, saya sangat prihatin melihat kondisi pelabuhan kita saat itu. Dulu, Pelabuhan Tanjung Priok pernah menjadi salah satu pelabuhan terbaik di Asia, hanya kalah dari Singapura, Hongkong dan Jepang. Priok pada saat itu masih lebih baik dari pelabuhan di Cina, Vietnam, Thailand, Malaysia, Sri Lanka, dan Timur Tengah. Tapi kalau ditanya posisi kita ditahun 2009, saya tidak tahu dimana, tapi yang pasti sangat jauh tertinggal. Hal itu terjadi salah satunya karena pemerintah melakukan kesalahan paling fatal dalam pengelolaan pelabuhan karena menilai keberhasilan direksi hanya dari kemampuannya memberikan keuntungan sebanyak-banyaknya, orientasinya hanya profit. Dalam kondisi demikian, otomatis mereka takut melakukan investasi. Jangankan berfikir untuk meningkatkan kualitas SDM atau pelayanan, agar profit terlihat besar jika perlu semua yang dianggap mengurangi keuntungan di cut semua, tak terkecuali maintenance dan SDM. Target utamanya yang penting pemerintah senang, direksipun happy karena bonusnya besar. Hal ini terjadi bertahun-tahun, Pelindo semakin merana. Nah jika cara seperti itu diteruskan saya 100% yakin Pelindo selamanya nggak akan bisa maju. Kalau mau berubah tak ada cara lain, arena permainannya harus diubah. Syarat pertama yang saya minta adalah agar merubah kriteria keberhasilan direksi, yaitu bobot keuangan hanya 20% dan sisa 80% adalah pelayanan. Sedangkan syarat kedua saya adalah membatalkan rencana pembangunan pelabuhan Bojonegoro di Serang, Banten yang saya nilai sangat keliru sekali. Jika kita paksakan melanjutkan pembangunannya saat itu, we do a very big mistake for the country. Meneruskan pembangunan pelabuhan yang sudah jelas secara hitung-hitungan mudah melawan common sense jelas tidak ada gunanya. Saya langsung bisa melihat ketidakefisienannya melalui pemikiran-pemikiran sederhana nggak perlu sampai menggunakan hitungan tiga kali diferensial”

ha..ha… Lino tergelak mengenang saat dirinya bergabung kembali ke Pelindo pada bulan Mei tahun 2009.

Membangun Mimpi Bersama Pelindo II

Lino memimpin PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) sejak Mei 2009. Pada bulan Pebruari 2012, Pelindo memutuskan bertransformasi menjadi Indonesia Port Corporation (IPC), sebuah penegasan komitmen untuk menjadikan IPC sebagai salah satu pilar pertumbuhan penting bangsa. Memimpin Perusahaan yang mengusung semboyan dan tekad baru Energizing Trade, Energizing Indonesia. Lino dipandang banyak kalangan sukses melakukan restrukturisasi korporasi dengan manajemen baru yang menghasilkan budaya dan cara-cara kerja baru. Lino menuturkan bahwa berbagai perubahan dan kemajuan yang sekarang terjadi di Pelindo diperjuangkannya dengan tidak mudah. Memperbaiki organisasi dengan orang-orang yang disebutnya “hampir kehilangan harapan”, diakuinya sungguh tidak mudah. Awalnya dia harus bertempur habis-habisan diantaranya dengan menerapkan berbagai quick win untuk membangun kepercayaan dan membangkitkan kembali semangat jajarannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun