PENDIDIKAN SEKS ANAK, BAGAIMANA SEHARUSNYA?
Seks sering diidentikkan dengan hubungan suami istri. Padahal. ada yang lebih penting dalam pendidikan seks ini.
"ANAK laki-laki saya suka mengintip bila saya sedang berganti pakaian, keluh seorang ibu menceritakan anak laki-lakinya yang berusia 10 tahun.
"Agar dia tidak keterusan, akhirnya saya berganti pakaian di depan dia. Bila tidak, saya sengaja membuka pintu kamar saya, agar dia tidak mengintip dengan diamdiam. Biarlah dia masuk dengan leluasa," ungkapnya menceritakan solusi terhadap masalahnya sendiri.
Tidak heran, ibu tersebut biasa berganti penutup dada (BH) di depan anaknya. Ketika ditanya, mengapa ia lakukan itu, ternyata ibu ini mendasarkan diri pada pendidikan seks anak yang "hendaknya dilakukan secara terbuka". Sayangnya, ibu ini tidak menyadari, bahwa keterbukaan yang dimaksud bukanlah demikian.
Problematika pendidikan seks, bagaimana seharusnya, bagaimana baiknya, dan bagaimana cara efektif menginformasikan hal-hal yang berkaitan dengan masalah seksual, merupakan problematika klasik yang saring tidak berujung. Artinya bagi masyarakat tertentu bukanlah menjadi masalah serius. Namun bagi masyarakat lain, menjadi masalah yang kompleks dan rumit.
Konflik Batin
Akibat mitos seks yang salah, banyak kasus mengakibatkan konflik batin dan masalah psikologis. Setidaknya, begitulah yang pernah terjadi pada masa Sigmund Freud sang tokoh psikoanalisis dari Wina yang hidup pada awal abad 20. Masalah-masalah yang timbul dan bilik konsultasinya disebabkan masalah seksual. Pada Waktu itu, kehidupan seks dipandang sebagai kehidupan tabu, dan standar hidup mulia adalah asketis (menghindarkan sama sekali dari seks).
Akibatnya, banyak perempuan waktu itu menganggap seks adalah menjijikkan, sehingga terjadi banyak Vaginismug (kejang otot vagina) ketika terjadi coitus (hubungan intim suami istri) dengan pasangan sahnya.