Sesungguhnya anak ibarat kertas putih yang siap ditulisi. Itu pendapat salah satu tokoh psikologi yang menganut aliran kertas putih tabula rasa. Lingkungan dalam hal ini orang tua masyarakat sekitar adalah penulisnya. Kalau anak dididik dengan halus maka ia akan berperingai halus. Kalau dia setiap hari mendengar piring terbang cacian makian dan hiruk pikuk kehidupan maka gurat tua akan lebih kentara dan anak akan terlalu cepat tua sebelum waktunya.
Nah, ibadah Ramadhan adalah ibadah khusus untuk orang dewasa atau akil baligh. Maka anak sejatinya belum wajib, meskipun ada juga yang sangat berhasrat meniru puasa orang dewasa sehari suntuk dan sepenuh syariat. Padahal anak-anak ya tetap anak-anak, dia belum wajib untuk berpuasa dan ibadah mahdhoh lainnya.
Namun semua ibadah juga ada tahapannya, sehingga bukan langkah keliru mendidik dan melatih anak berpuasa sejak kecil.
(1) Dimulai dari yang ringan
Anak-anak saya dulu, sebagai contoh pengalaman, berpuasa sejak usia SD sehari penuh. Saya sebagai ayahnya dan istri sebagai ibunya tidak pernah memaksa, namun sang anak sendiri yang ingin karena lingkungan banyak yang berpuasa.
Maka selalu saya katakan, belum wajib lho nak... kalau tidak kuat boleh berbuka. Dan anak saya akan menyeringai lucu sambil berkata, kuat kok ayahhh.... dan saya tersenyum dengan agak sedih namun bahagia melihat betapa kuatnya anak punya keinginan untuk beribadah.
Sehingga ketika berbuka puasa, kami menghujaninya dengan pelukan dan bahagia karena anak berhasil melewati seharian berpuasa.
Sekarang Mei 2021 anak sulung saya di ekonomi universitas negeri di Jakarta dan adiknya di SMAN cukup favorit Yogyakarta. Alhamdulillah sekolahnya lancar barokah selalu. Semoga puasanya selama ini dan seterusnya akan diterima dengan penuh limpahan kasih sayang Allah.
Demikian halnya dengan shalat jamaah. Saya ajak anak ke masjid meskipun saat ini ya berangkatnya sendiri-sendiri.
Intinya perlu ajakan dan latihan sejak usia dini sehingga ibadah akan menjadi bagian tidak terpisahnya dari hidup kita.