Sebenarnya pertanyaan itu tidak serius. Mohon bapak ibu yang ada di HIMPSI (Himpunan Ilmuwan Psikologi) tidak merespon dengan serius. Namun kalau serius ya boleh juga hehe.
Sebagaimana diketahui, untuk melahirkan profesional bergelar "Psikolog", memang harus melalui pendidikan Magister Profesi Psikolog. Dulunya memang "hanya" Program Profesi yang dapat berlangsung setara magister, namun gelarnya "hanya" Psikolog saja. Saya sendiri juga punya gelar sebagai "Psikolog" karena saya juga berpendidikan profesi Psikolog meskipun masih kurikulum lama untuk tidak di strata magister.
Sementara itu, program S2 Psikologi sendiri juga belum tentu melahirkan seorang Psikolog. Sebab, ada jurusan Magister Sain Psikologi, yang asal usul S1-nya boleh dari non Psikologi. Demikian halnya dengan Magister Psikologi Terapan, juga dapat berasal dari S1 Non Psikologi.
Namun kalau Magister Profesi Psikolog, syarat utamanya adalah S1 Psikologi. Magister Profesi Psikologi inilah yang saat ini disebut sebagai "Psikolog", ditambah dengan Psikolog yang kurikulum lama.
Banyaknya revisi kurikulum sendiri selain upaya penyempurnaan, juga pertanda Psikologi sebagai keilmuan juga terus mencari jati dirinya sendiri. Sebab di dalam dunia praktik lapangan, ada juga black market yang melayani jasa psikologis padahal latar belakangnya bukan ilmuwan psikologi, misalnya ada yang dari jurusan Bimbingan dan Konseling.
Awam pasti agak rancu, namun demikian ilmuwan Psikologi semakin eksis dengan akan lahirnya UU Profesi Psikologi yang diharapkan akan memberikan jaminan profesionalitas dan proteksi regulasi bagi ilmuwan dan praktisi psikologi.
Mendirikan SMK Psikologi
Analoginya sederhana. Sarjana Ekonomi punya namanya SMK Ekonomi atau dulu dikenal sebagai SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas). Dan alumnus SMEA juga tidak akan pernah menyebut dirinya sebagai Ekonom. Namun ia setidaknya punya kemampuan analisis ekonomi dalam bentuk sederhana termasuk tata buku manajemen keuangan sederhana.
Demikian halnya dengan SMK Teknologi atau yang dulu disebut sebagai STM Sekolah Teknik Menengah. Alumnusnya tidak pernah menyebut dirinya sebagai Insinyur, meskipun mereka bisa berprofesi sebagai ajudan insinyur, penyelia bangunan teknik, sampai ke tukang batu atau tukang kayu dalam bentuk ekstremnya.
Nah, mengapa tidak digagas mengenai SMK Jurusan Psikologi?