Cinta yang tapa keberpihakan sekaligus menyebalkan itu namanya cinta platonik. Ilustrasinya dapat saya kutipkan sebagai berikut. Tommy dan Angela pernah bertemu ketika mereka sekolah menengah atas. Entah bagaimana, mereka merasa saling tertarik. Namun tidak sampai pacaran. Dan tidak ada komitmen apa pun di antara itu. Dan tidak ada sentuhan fisik apa pun.
Nah, perjalanan hidup membawa masing-masing memiliki pasangan hidup. Dan berbahagia. Pada masing-masing pasangannya. Dan menyebalkan, masih suka berkomunikasi walaupun usia sudah di atas 60 tahun. Saling tertawa mengingat cerita di sekolah dulu. Dan saling merasa lucu. Dan tidak menyesal tidak pernah jadian. Bahkan, tidak tahu apakah ada cinta di antara itu. Hanya merasa cocok kalau mengobrol. Itu pun baru ketika mereka dikarunia cucu masing-masing.
"Aku rasa aku mencintai kata cinta, "kata Tom pada Angela.
"Aku rasa aku tidak punya rasa, ya buat apa juga hawong sudah tua, "jawab Angela tanpa dibuat-buat.
Lha itu, bisa jadi namanya cinta platonik. Cinta tanpa hasrat berlebih, kecuali merasa ah mungkin ya cinta juga. Tapi ya buat apa. Hawong sudah tua. Dan dulu pun tidak ada apa-apa.
NO INTENSI TO SEKS
Cinta platonik adalah sebuah istilah yang dipakai untuk menyebut sebuah relasi yang sangat afektif, melibatkan rasa dan ada unsur sangat baper memang. Bisa terharu padahal tanpa alasan. Pingin bertemu padahal takut ketahuan dan malu. Memang, cinta jenis ini sepertiada cinta, namun tidak ada intensi seks, di mana unsur-unsur rasa ketertarikan secara seksual tidak terdapat, terutama apabila hal ini justru malahan diperkirakan ada.
Dari sisi historis filosofis, istilah ini diambil dari salah satu filsuf Yunani kuno, Plato, terutama dari karyanya Symposium, di mana tertulis bahwa cinta akan ide daripada kebaikan adalah dasar dari semua kebajikan dan kebenaran. Cinta adalah sumber inspirasi ideal, kebaikan, kehebatan tanpa hasrat yang jelek dan atau menjatuhkan. Jadi ya bisa diwakili "mencinta kata cinta, mencintai rasanya rasa cinta".
Istilah amor platonicus, sudah dipakai seawal abad ke-15 oleh Marsilio Ficino, sebagai sinonim daripada "amor socraticus," yang merujuk kepada afeksi antara Sokrates dan murid-muridnya. Ya semacam cinta kasih sayang, pada awalnya begitu.
Contoh soal: bukankah banyak ibu-ibu menyukai drama korea, membayangkan pernah atau malah ingin, punya cowok cowok yang kalau di mata generasi tua justru malah kayak ayu begitu? Dan suka, tapi ya gak pingin lebih dari itu. Ada yang lebih, ya namanya bukan lagi platonic love, melainkan hasrat terpendam alias syahwat yang ditekan.