Sejarah berulang. Peradaban memang ada yang hanya pengulangan atas rasa kognisi dan psikomotorik masa lalu. Hanya dejavu. Bisa jadi begitu. Dan saya sebagai anak manusia, tetap terkaget karena ungkapan kata sama tetap bisa meluncur dari anak manusia yang lain. Kitalah anak manusia itu. yang bisa berduka.Bersuka cita. Atau ada di antara itu. Atau ikut menyaksikan itu.
"Sungguh ini tidak adil, saya bukan nabi, bukan wali, bukan kekasih Tuhan, mengapa Tuhan memberi ujian yang sering kok begini to ya.., "keluh sahabat saya yang sebenarnya terbilang sangatlah baik dan halus budi bahasanya. Beliau juga sangat sopan, respect to other people, as human being. Tidak membeda-bedakan strata sosial.
"Bagaimana Tuhan tidak adil, wahai sahabatku yang baik, "tanya saya mencoba berperan sebagai konselor yang bijak. Kejadian ini masih sangat fresh from the oven. Maret 2021.
"Saya tidak mengerti, setiap kali saya mendapat proyek besar, ini rezeki yang besar, "ujarnya sambil menahan tangis haru.
"Saya pasti bersyukur, sangat berterima kasih kepada Tuhan, saya sangat mengakui keberadaan Tuhan, namun mengapa setiap itu juga, selalu ada cobaan yang datang menerpa, saat ini keuarga saya harus masuk ICU dan diproses operasi, yang memakan biaya sangat tinggi, "imbuhnya menyeka air mata duka.
Saya mencoba mengerti situasinya. Keluarga ada yang sakit, apalagi masuk ICU, itu adalah duka cita. Lelah lahir batin. Dan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Termasuk energi psikologis. Fatique. Lelah fisik. Mental moral. dan Finansial.
Saya terus mencoba memberikan penghiburan kepada beliau ini. Sedulur, bisa jadi justru itu adalah kemudahan. Ketika rezekimu berlimpah, maka sebagian itu harus engkau gunakan untuk berkorban membiayai keluargamu dalam hal kesehatan. Sehat itu penting dan rezeki tidak ternilai.
***
Sementara di penghujung dunia lain. Memori saya terlempar. Sekira tahun 1990-an. Ketika saya masih sebagai jurnalis lokal. Di antara kesibukan kuliah. Dan saya juga punya sahabat jurnalis lokal. Yang hidup mengandalan rupiah demi rupiah setiap judul yang diberi insentif sekira 10 ribuan - 15 an ribuan. Sebulan sekira 75 - 100 an ribu didapatkan dengan penuh terseok mendatangi nara sumber, dengan motor tua dan helm yang bikin sumuk berkeringat dan bau.
"Kulo jan sedih sangettt..., "kata sahabat saya. Saya mendatangi beliau ini, ketika keluarganya sedang sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Padahal rumahnya di dusun pelosok desa selatan kota Yogyakarta.