Seberapa persen penerapan hukum di Indonesia berhasil menegakkan keadilan dan kesejahteraan rakyat? Menurut Dr. Tanudjaja (2021), pengajar di Program Magister Hukum Universitas Narotama Surabaya, bila kita diminta untuk menunjukkan persentase, maka itu sifatnya kuantitatif. Maka diperlukan pengukuran, observasi, kuisioner, dan kalkulasi dengan pendekatan statistik Sementara hukum lebih banyak bersifat kualitatif.
Namun jika diarahkan ke pertanyaan, berapa persen perkara yang selesei tuntas dari sekian berkas perkara yang diajukan, bisa jadi sudah mencapai 100%. Artinya semua bisa diseleseikan di sidang Pengadilan. Namun, apakah putusan Pengadilan itu sudah sesuai dengan kaidah hukum, dalam arti rasa keadilan bagi orang yang berperkara, ya agak sulit untuk dijawab. Pasti ada yang puas, ada juga yang kurang puas.
Pertanyaan lain, apakah benar penegakan hukum di Indonesia sudah optimal?
Dr. Tanudjaja (2021) mengatakan bahwa bila kita merujuk ke Jepang, ada semacam seleksi ketat untuk menjadi aparatur hukum.
Sarjana atau ilmuwan hukum yang berhak menjadi hakim, adalah yang memiliki Indeks Prestasi Akademik terbaik di kelasnya.
Sedangkan yang level kedua, akan diarahkan menjadi Jaksa Penuntut di Pengadilan. Selanjutnya, yang klaster ke-3 dalam prestasi akademik, baru di level Advokat atau Pengacara. Artinya, pada saat ada proses pemutusan oleh Hakim, maka diharapkan itu diputuskan oleh ahli Hukum yang punya kredibilitas akademik dan intelektual di bidangnya. Intinya, dalam bahasa awam, Hakim harus dicari yang lebih pandai ketimbang Jaksa dan Pengacara, karena ia akan memutuskan perkara di Pengadilan.
Lantas, bagaimana di Indonesia, ini dibutuhkan penelitian lebih lanjut dari sisi aspek akademik, atau pun non akademik.
Dr. Tanudjaja (2021) juga memberikan contoh di Amerika Serikat, di mana untuk menjadi sarjana Hukum, ia akan diseleksi berjenjang dan biaya pendidikan juga mahal seperti halnya kuliah di Fakultas Kedokteran. Dan ketika lulus, profesi juga sangat bergengsi dengan tantangan ilmu hukum yang bisa lintas bidang dikuasai, misalnya hukum yang menyangkut perdata maupun pidana.
Dalam hal tanggung jawab (aspek pidana), dan tanggung gugat (aspek perdata), maka ada kasus adanya pelaku yang berbuat kekerasan dan menimbulkan kerugian keuangan. Maka vonis pidana atas kriminalitas tindak kekerasan, sejatinya tidak akan menghilangkan tuntutan perdatanya. Bahkan, jika pelaku mengaku tidak mampu mengembalikan kerugian perdata akibat kekerasan yang dilakukannya, maka selain pelaku yang adalah menjadi terdakwa, dan dinyatakan bersalah, maka atas kerugian perdata tersebut semua aset pelaku harsu dihitung sebagai proses ganti rugi atas akibat kejadian dimaksud.
Bagaimana pelaksanaan di lapangan, maka keadilan memang harus ditegakkan. Seberapa persen semua proses peradilan dan penegakan keadilan di negara kita, ya itu yang harus diteliti lebih lanjut. Jika mau didapatkan data akurat, maka riset hukum diperlukan.