Apakah saat ini ada gerakan reformasi di Myanmar seperti yang pernah terjadi di Indonesia Mei 1998? Inilah episode yang paling membingungkan bagi dunia, khususnya - barangkali - , bagi masyarakat Myanmar sendiri. Utusan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Christine Schraner Burgener mengatakan pada awak media (4/3/2021) yang mengindikasikan adanya situasi di mana sebagian orang Myanmar bingung dan putus asa atas reaksi dunia internasional terhadap politik negara yang dulu dikenal sebagai Burma tersebut. Burgener diberitakan banyak menerima pesan baik lewat telepon genggam maupun email, yakni sekitar dua ribu pesan setiap hari dari orang-orang Myanmar yang merasa putus asa terhadap tanggapan internasional terkait kudeta militer.
Burgener bahkan mendesak komunitas internasional untuk mengambil tindakan tegas, dan menekankan bahwa sanksi Dewan Keamanan PBB akan "lebih kuat" daripada sanksi oleh masing-masing negara. Namun demikian, sebagian masyarakat politik Asean justru mendorong diadakannya Pemilu ulang di Myanmar. Pertemuan Menlu Indonesia, Retno Marsudi dengan Menlu Thailand dan Menlu Myanmar yang ditunjuk militer di Bangkok pada tanggal 24/2/2021 memantik aksi protes pro demokrasi Myanmar. Bahkan, karikatur dan serangan medsos ditujukan ke Indonesia melalui serangan terhadap sosok Menlu kita.
Posisi Indonesia, dikabarkan tidak jelas sejak dari awal. Namun sebenarnya, Indonesia sedang mendorong adanya transisi demokrasi yang aman dan baik untuk rakyat Myanmar. Dalam pertemuan di Bangkok tersebut BU Retno menyampaikan keprihatinan Indonesia atas situasi di Myanmar dan menambahkan bahwa keselamatan rakyat Myanmar adalah prioritas. Menghindari kekerasan dan menghindari korban lebih lanjut. Pengalaman Indonesia pada reformasi Mei 1998 adalah pelajaran paling berharga bagi Bangsa Asean, bahwa kejatuhan rezim dengan kekerasan adalah akan memakan korban yang tidak sedikit bagi rakyat. Dengan ini tampak bahwa Indonesia berusaha mencegah adanya ekskalasi kekerasan horisontal di lapangan yang akan membenturkan kekuatan sipil dengan kekuatan militer.
REFORMASI MEMBINGUNGKAN
Sebagian rakyat sipil Myanmar sepertinya memang menentang kudeta militer Februari 2021 yang lalu. Korban yang jatuh akibat demonstrasi pada posisi Maret 2021 ini sudah mencapai 50 orang. Penangkapan Aung San Su Kyi oleh militer dengan tuduhan kecurangan Pemilu, juga membingungkan bagi sementara pihak karena pemerintah China dikabarkan beberapa media menolak berkomentar terhadap situasi politik di Myanmar, dan menganggap itu adalah sebuah reshuffle kabinet besar-besaran yang tidak perlu ditanggapi secara politik.
Sebagian kalangan muslim Myanmar dikabarkan juga menentang kudeta militer ini, dan pada saat yang berbeda muslim pernah menentang Aun San Su Kyi yang mendiamkan pembantaian muslim Rohingnya di Rakhee. Masyarakat internasional bahkan sampai menekan dan menuntut pencabutan Nobel Perdamaian untuk Aun San Su Kyi atas pendiaman sikap terhadap kekerasan militer Myanmar di Rakhee .
Amnesti Internasional, pada tahun 2018 bahkan pernah menghukum Aung San Su Kyi .
Organisasi hak asasi manusia (HAM) yang berbasis di London itu pernah menegaskan gelar atas penghargaan HAM tertinggi tersebut diberikan pada tahun 2009 saat Suu Kyi masih menjadi tahanan rumah rezim militer di negaranya, saat ini dicabut (2018) karena Suu Kyi tidak lagi mewakili simbol harapan, keberanian, dan pembela HAM sebagaimana dikatakan Kepala Amnesti Internasional Kumi Naidoo seperti yang dirilis AFP, Senin (12/11/2018), akibat Aung tidak berusaha mencegah kekerasan militer di Rakhee.