Ya karena kami bersahabat dengan kondektur. Kalau tidak, mana bisa menyebar di seluruh bordes kereta, atau bahkan di sela sambungan kereta api. Benar-benar pengalaman berbahaya dan berisiko. Makan pun bisa agak sembarangan. Bukan hanya agak, beneran sembarangan.
Misterinya, saya sempat dihajar tipus selama kurang lebih 2 minggu dirawat di rumah sakit. Biayanya, setelah dihitung-hitung, senilai biaya tiket resmi kereta api selama saya menjalani aktivitas pjka tersebut.
Di era pak Jonan, full respect dan apresiasi untuk beliau, batalyon pjka ini bubar dengan sendirinya. Sebagian sudah berganti dengan pesawat, atau travel bahkan kendaraan pribadi melintas tol di era pasca reformasi. Sebagian lagi menyesuaikan dengan keadaan. Ada yang memutuskan pindah kerja. Ada yang menggunakan bus dengan pengaturan waktu kunjung keluarga yang lebih diadaptasi dengan situasi.
Saya masih ingat, tiket kereta api ketika itu di kisaran 45 ribuan, sampai 100 an ribu untuk kelas Bima Eksekutif. Lha saya dan teman batalyon, bisa membayar hanya 3 ribuan rupiah sudah sampai di Jakarta.
Pas ditarik petugas, cukup bilang "pjka, bordes pak". Dah beres. Apalagi memag pintu masuk ke stasiun sangat terbuka. Beda dengan sekarang yang sangat steril, bersih, dan berkelas. Jadi LDR lewat PJKA ini bukan berarti karyawan Kereta Api loh, tapi singkatan ari Pulang Jumat Kembali Ahad. Sebagian sangat mungkin masih menjalani, dengan moda angkutan yang berbeda dan kemampuan ekonomi yang sangat beda.
LINTAS BENUA
PAda tahun 2010an, saya berdinas di Mokpo, Korea Selatan. Seminggu awal saya bersama istri. Disambut sangat gembira oleh warga Korea, dan kami sangat menikmati suasana desa Mokpo yang bersih, modern, dan orangnya tetap ramah baik dan antusias.
Respek kepada orang. Bahkan ketika dinner, istri dari rekan Korea saya selalu tampak mengangguk-angguk dalam merespon bicara kami. Padahal, sepertinya ya kurang paham bahasa Inggris. Sama seperti kami yang Ingrisnya ya yang penting bisa komunikasi.
Nah, di sela-sela program, saya terlibat mengobrol dengan karyawan-karyawan di Mokpo. Ternyata, sebagian dari mereka adalah warga Seoul yang bekerja di Mokpo.
Jadi setiap jumat, mereka juga pulang ke Seoul untuk bertemu dengan keluarganya. Di sela kegiatan kantor, kalau jenuh selama bekerja, mereka mengisi waktu dengan renang, golf, atau bowling. Demikian juga mengisi waktu jeda di sore atau malam ketika kantor sudah usai.